Untuk rutinitas yang bukan di akhir pekan, semestinya Ten sedang mengendarai mobilnya, sekarang, membelah kemacetan jalan, dan berusaha menahan tangannya untuk menjauhi klakson demi mengurangi kebisingan dan hiruk pikuk kota metropolitan, suatu pagi, yang bukan akhir pekan; tetapi, sekarang akhir pekan dan ia membiarkan dirinya bermalas-malasan di atas sofa berbantalkan pangkuan Taeyong.
Taeyong juga; jika sekarang bukan akhir pekan, ia paling-paling akan menyamankan diri pada kursi, memainkan jemarinya yang panjang-panjang di atas keyboard, mengeluhkan sulitnya kode virtual yang mesti di-input dan bug yang membuat pekerjaannya bertambah buruk, padahal, waktunya lebih banyak dihabiskan untuk membentuk klan mengalahkan benteng lawan di suatu permainan perang-perangan. Tetapi ini adalah akhir pekan, dan Taeyong tak keberatan menjadikan dirinya sebagai alas kepala Ten.
Di kedua tangannya yang terangkat, Ten menempatkan sebuah buku, novel, mungkin cukup populer, seandainya Taeyong mau sedikit saja membuka matanya terhadap sastra klasik (sayangnya seperti Ten adalah Ten, Taeyong adalah Taeyong dan ia tak akan merepotkan diri untuk berkutat pada hal yang tidak ia minati ketika seharusnya ia melakukan pemrograman; hell ia bahkan tak selalu mendiktekan kodenya). Ia mengalihkan tatapan sebentar dari televisi yang menyala, melihat kerjapan mata Ten yang meski sedikit, terlihat bergerak mengikuti barisan kata yang tercetak pada lembar kertas berbau tua. Bulu mata Ten tidak panjang dan tidak pula melengkung di ujung, seperti bulu mata lelaki kebanyakan, namun helaiannya berbaris rapat seolah kelabu di baliknya adalah sesuatu yang mesti dirahasiakan dari banyak orang.
"Matamu tidak sakit membaca sambil tiduran?" telapak tangannya mendarat di dahi Ten, bergerak turun menuju rambutnya yang obsidian dan hitam dan menjuntai, kepala Ten sedikit menengadah, melupakan bacaannya sebentar supaya tatapan mereka bertemu pada satu garis pandang. Kelabunya paradoks, gelap tetapi menyilaukan, dan selalu berhasil memberi kejut di dada Taeyong, sekarang, selalu, dan akan terus seperti itu.
"Kau harusnya lebih mengkhawatirkan matamu sendiri," ia meletakkan bukunya yang terbuka di atas dada, fokusnya beralih sepenuhnya pada perkataan Taeyong dan tangan dinginnya yang masih beristirahat di kepalanya, "kau menggunakannya untuk menatap monitor bahkan di saat liburan."
"Mataku tidak apa-apa."
"Oh, ya, Hyung, ya. Terserahmu saja."
"Tetapi mataku memang tidak akan apa-apa," Ten menarik bukunya kembali, melanjutkan kisah di dalam kepala yang sempat mengalami intervensi; biar saja ia mengabaikan Taeyong dan segala excuses-nya dengan aku makan banyak wortel dan mengistirahatkan mataku jika diperlukan, hey kau dengar? seperti yang sudah biasa ia katakan. Namun tangan Taeyong beranjak dari kepalanya dan beralih pada buku yang ia pegang lantas menutupnya paksa.
"Mataku tidak akan apa-apa, selama kau bisa selalu terefleksikan di dalamnya."
Lalu, hening. Taeyong terlalu tahu bahwa keheningan yang satu ini adalah jenis keheningan yang menandakan akan datangnya badai; Taeyong tahu sekali, tetapi bukan berarti ia mampu menghindar dari badai ketika buku yang mungkin mencapai seribu halaman berkover tebal itu mendarat di kepalanya dua kali disusul suara decihan sebal.
Ten bangkit berdiri, pangkuan Taeyong kini hanya menahan beban buku yang Ten lemparkan. Suara mengaduhnya sudah hilang dan protesnya diabaikan; Ten hanya melenggang menuju dapur sambil bergumam, "aku mau buat makan siang."
Tetapi di belokan itu ia berhenti sesaat, desah napas keluar dan matanya yang kelabu menatap nyalang pada Taeyong yang masih mengusap kepala perlahan-lahan (ku tak punya rasa ampun, ya?).
"H,hei," wajahnya masih (diusahakan) datar, walau jelas sekali suara yang dikeluarkannya bergetar, "kau mau bantu atau tidak?"
Taeyong tak mampu menyembunyikan senyum yang tersungging di antara suara ringisan.
"Gladly."
Akhir pekan adalah segala hal tentangnya dan Ten; selalu, selamanya.