''Taeyong." Ten menarik napas dalam-dalam, berharap detak jantungnya bisa sedikit saja mereda, karena ia tahu ia biasanya meracau jika sedang gugup setengah mati. Tangannya berkeringat, terkepal erat di sisi tubuh, sementara matanya menatap hamparan rerumputan yang terpangkas rapi di belakang gedung olahraga. "Kau tahu, selama ini aku—aku—"
Ini sulit. Ten selalu menduga bahwa mudah saja untuk menyatakan cinta pada sahabat baiknya, karena toh itu adalah kejujuran yang tidak lagi bisa dipungkiri, karena ia tahu cepat atau lambat mereka harus menghadapi situasi ini—menghancurkan dinding yang ada sekuat tenaga, dan membiarkan apa yang selama ini terperangkap di antara mereka meluap—tetapi nyatanya, ya, ini memang sulit. Lidahnya kelu. Tiap kali ia mencoba bersuara, ada yang terasa solid di tenggorokannya, membuatnya tercekat, kegugupannya terduplikasi dengan semena-mena.
Namun, hanya sekarang kesempatannya, bukan? Jika ia menunggu lebih lama, Taeyong akan pergi lebih jauh dari jangkauan. Jika ia menunggu lebih lama, mungkin ia akan menyesal seumur hidupnya.
"Aku… selalu menganggapmu menarik, kau tahu?" Ia berujar, perlahan, mengeja kata per kata di dalam kepalanya sebelum betul-betul dilisankan. "Kau pintar dalam pelajaran, selalu mendapatkan minimal dua lusin cokelat pada Hari Valentine, dan belakangan Pelatih Kim selalu memuji caramu mengobservasi pemain lawan di lapangan. Kau pembuat strategi yang baik, seperti ketika kau sedang bermain game, tak pernah terkalahkan. Kau… kau betul-betul bisa segalanya." Ten menggaruk sisi pipi, tersenyum sebentar di sela-sela kegugupan. "Dan—dan aku selalu menyukaimu yang seperti itu, Taeyong. Sangat, sangat menyukaimu."
Ia menelan ludah, wajahnya menghangat, dan ia yakin itu bukan karena pancuran cahaya matahari senja yang tengah membanjiri halaman belakang sekolah.
"…sangat, Taeyong. Aku sangat, sangat menyukaimu—menyayangimu. Dan kupikir—kupikir kau harusnya sudah tahu…?"
Ini memalukan; mengakui perasaannya pada kenyataannya hanya membuat Ten merasa rentan dan terpapar. Namun ia juga tidak ingin menyesal, tak ingin bersikap pengecut dengan melangkah mundur di tengah-tengah perjuangannya. "Aku—aku menyukai senyummu. Juga ketika kau menungguku pagi-pagi di persimpangan jalan, aku menyukaimu karena kau tak pernah sekalipun protes padahal setiap hari aku membuatmu menunggu lama di sana."
Atau itu hanya bagian dari rasa kasihan dalam diri Taeyong? Ten ingin percaya bahwa Taeyong memang tidak keberatan. Bahwa, setelah tahun-tahun berlalu, ia bisa dengan bangga mengklaim dirinya sebagai satu-satunya sahabat baik Lee Taeyong. "Kau selalu mengajariku Sejarah Korea dan Matematika ketika aku memintamu. Kau mengizinkanku meminjam CD lagu yang kau dapatkan dengan susah payah di toko barang bekas, dan kau tidak pernah protes ketika aku baru mengembalikannya berbulan-bulan kemudian."
Helaan napas lagi.
"Kau juga selalu membiarkanku menyandarkan kepala di bahumu ketika kita bepergian dengan bus, dan kau juga selalu memberiku sebagian dari kentang gorengmu karena kau tahu aku sangat, sangat menyukainya." Pipinya semakin memanas, terutama karena ingatannya terbangun tanpa ia inginkan, mengulang fragmen demi fragmen memori ketika ia merasa Taeyong setidaknya tidak membencinya. Pemuda itu hanya tidak mahir merangkai kata-kata yang menyenangkan, dan pada akhirnya mencoba menyampaikan banyak hal dengan tindakan. Terkadang, ketika teringat dengan hangatnya pundak Taeyong, atau dengan senyum tipis si pemuda yang hanya diulas ketika mereka sedang berdua saja, Ten bertanya-tanya dalam hati: apakah Taeyong juga menyimpan perasaan yang sama dengannya. Apakah Taeyong juga memikirkan Ten setiap malam hingga baru bisa tidur setelah lewat pukul dua belas.
Ten merasa lancang, jika ia berani-beraninya mengharapkan kemungkinan tersebut menjadi kenyataan.
"Selama kau tetap di sampingku, aku bisa terus berjuang." Ten mengulum senyum malu, membiarkan angin sepoi-sepoi mengecup ujung hidungnya. Dingin. Ia semestinya tidak meninggalkan jaketnya di dalam gedung olahraga. "A-Aku—aku juga ingin mengatakan hal yang keren seperti Jaehyun dan Doyoung, kau tahu? Dan itu memang benar. Aku akan terus berjuang jika kau tetap mendukungku."