Un, Deux, Trois

295 41 29
                                    

Subuh pertama di bulan desember,

dua lapis pakaian yang Taeyong kenakan sudah tak mampu menjaga suhu tubuhnya tetap hangat, jadi ia raih pullover rajut hijau dari dalam kloset dan segera beralih langkah ke dapur. Ia menjemput setangkup roti yang dilontarkan pemanggang dengan bunyi denting nyaring, mengolesi margarin di sisi-sisinya untuk yang ketiga kali (ia lupa telah mengolesinya dua kali sebelum menyelipkan roti itu ke dalam pemanggang), kopinya sudah dingin dan telur mata sapinya belum matang benar; ia toh sudah tak peduli soal itu lagi.

Setengah cangkir kopinya yang percuma mengalir di wastafel, membentuk sungai kehitaman tanpa cabang, entah akan bermuara di pembuangan mana. Taeyong seperti melihat refleksi wajahnya di aliran itu: kelabu pada matanya, kusam pada rambut di atas kepalanya, merah pada jalinan benang pullovernya- lalu tiba-tiba wajahnya memucat seperti kehabisan darah. Cangkirnya meluncur dari tangan, terhempas ke dalam wastafel dan pegangannya patah. Tapi ia terlalu disibukkan oleh usahanya untuk melepas paksa lapisan terluar pakaian yang ia kenakan; seratnya tersangkut dan benang-benang wolnya terurai bebas. Taeyong bergegas menjatuhkannya ke dalam keranjang sampah.

'Kenapa kau melepasnya? Warna hijau sangat cocok untukmu, Taeyong hyung'

Taeyong memutar kepalanya dan tubuhnya dan tatapannya (tetapi tidak pernah hatinya, tidak sekarang), untuk kemudian menemukan oranye yang menyambutnya seperti senja, seperti dua senja, sebab ia mendapati oranye itu terpoles tidak hanya di antara helaian rambut, tetapi juga di sepasang mata. Bahunya tiba-tiba mengkaku, tetapi ekspresi yang ia pasang tak berubah barang sedikit saja, mengisyaratkan tanpa suara: siapa pula yang peduli dengan fashion dan warna.

Ia menyingkirkan cangkir rusaknya; gerakannya tersendat seperti video yang dimainkan pada pemutar yang mengalami gangguan - oh, ya, ya, memang ia yang mengalami gangguan.

Dan lagi, Taeyong kembali mengarahkan tatapan pada si lelaki yang langkahnya sunyi dan berdiri di sisinya kini, warnanya sudah bukan hijau, Ten.

🌀🌀🌀🌀🌀

Satu, dua,

tiga butir percocet berpindah dari genggaman, turun bersama air masuk lewat kerongkongan, peristaltik, peristaltik, bunyi napasnya jadi melambat, mengindikasikan obat itu sudah mulai menjalankan fungsinya sekarang.

Sebab di dalam kamar yang penerangannya tak pernah ia nyalakan, Ten malah terlihat semakin nyata, berjalan menujunya dengan celana bahan senada tulang. Pantulannya di-skip cermin rias, tetapi mata coklat Taeyong menangkap figurnya dengan sangat jelas.

'Cuaca di luar cerah, kau tahu. Sebaiknya kau keluar rumah.'

Bahkan di antara seribu satu alasan yang membuat Taeyong menolak paparan udara luar, kehadiran Ten belum termasuk salah satunya (mungkin akan jadi yang ke seribu dua jika ia masih bersikeras muncul di dunianya). Kursinya sengaja ia putar membelakangi lelakinya (pernah), menghadap monitor berpendar yang tak benar-benar ia perhatikan tengah menampilkan apa.

Lengan Ten bergelayut pada lehernya; bukan hal yang tidak biasa, lelaki itu sering melakukannya, tetapi untuk yang sekarang sensasinya berbeda, tak ada sensasi sama sekali yang terasa. Seperti udara yang menggantung tertahan, tidak, tidak, salah, tidak seperti itu tepatnya, mungkin seperti hologram, ilusi, tipuan mata yang berusaha menjebaknya.

"Pergilah, Ten," suaranya tercekik, bukan Ten yang mencekiknya, "kumohon."

Lengan itu masih mengapit lehernya.

'Tapi, Taeyong hyung, aku-'

-ting tong!

Bel menginterupsi. Taeyong tidak perlu menyembunyikan umpatannya di dalam hati.

Limerence - TaetenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang