Tirai

210 41 1
                                    

Ten gemar membuka tirai jendela.

Taeyong selalu memperhatikan, selalu. Tak pernah ada yang tak tertangkap mata sama sekali. Dalam keadaan itu, Taeyong hanya bisa memangku tangan, memandang, dan berpikir mengenai apa yang ada di hadapan; seorang malaikat tengah merindukan surga. Betapa sedap dilihat.

Kemudian, jari-jemari kecil si lelaki itu menyentuh kaca jendela, mengusap-ngusap lembut. Sepasang mata indah menerawang jauh. Taeyong masih memangku tangan. Dua cangkir kopi di atas meja mengepul-ngepul. Tidak ada kata yang hendak dikeluarkan. Biar saja, biar si lelaki berhati malaikat itu merenung. Taeyong menyukainya—ia menyukai segala hal yang dilakukan Ten, seberapa sederhana pun.

Tirai digenggam, tirai beludru berwarna keemasan, bermotif bunga rampai, indah, cantik. Tirai yang dibeli Taeyong atas hasil gajinya selama dua bulan bekerja di kedai teh. Ten senang luar biasa. Dari sanalah, kekasihnya itu gemar membuka-tutup tirai. Lima sampai sepuluh menit dibiarkan terbuka, merenungi entah apa, lalu tirai kembali ditutup.

Kebiasaan yang manis—kalau tidak mau dikatakan aneh. Anti-klimaksnya ialah saat Ten berbalik. Selalu ada senyum terkembang di bibir ranum itu, senyum yang tak pernah membuat Taeyong jemu.

"Lembut. Aku jadi membuatmu menunggu. Salahkan tirai ini," ujarnya disela gurauan. Taeylng baru saja ingin memberi respon, tapi Ten melanjutkan bicara. "Segala hal yang ada di luar sana tampak lebih indah dan menakjubkan dengan adanya tirai ini. Kau tahu … seperti membuka pintu rahasia menuju Neverland. Aku bisa membayangkan apa pun. Bersamamu."

Taeyong tidak tahu bagaimana harus menjawab selain dengan kata-kata yang selama ini selalu diucapkannya sebagai tanda cinta. "Menikahlah denganku."

Ten berjalan ke arah Taeyong, lalu menarik tangannya, meminta ia untuk ikut berdiri di depan tirai ajaib. Mata Ten yang begitu cerah memandang lurus penuh keyakinan. Taeyong mengerti dan ia segera menyibak kembali tirai beludru itu.
Langit oranye menjadi obyek yang tertangkap.

Taeyong membayangkan pernikahan. Ia mengenakan jas. Ten melangkah anggun dituntun sang Ayahanda. Ia menunggu berdebar-debar di altar. Lengan Ten terjulur, Taeyong meraihnya, menggenggamnya, mengecupnya. Dan mencium bibir manis itu tatkala ijab pernikahan selesai diucapkan.

Sekarang Taeyong mengerti, kenapa Ten senang berlama-lama memandang ke luar jendela. Tirai beludru yang dibelinya itu benar-benar membawa keduanya menjelajah dalam angan-angan yang suatu hari nanti menjadi nyata.

Limerence - TaetenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang