Ten.
Seseorang yang memerangkap dunia dalam kata-kata. Lelaki awal dua puluh yang memutuskan menghapus nama keluarganya.
Hanya itu. Taeyong tidak mengetahui apapun selain dua hal itu. Satu kesimpulan yang bisa ia ambil ialah; Ten—seorang lelaki yang bergelut dengan diri sendiri. Si pemikir kompleks. Tak ada celah bagi orang lain untuk mencelanya—selain fakta bahwa dia begitu misterius dan tertutup.
Sekian buku yang ditulis oleh Ten selalu habis di pasaran. Sembilan dari sepuluh berhasil menjadi buku terlaris. Betapa tak sedikit orang yang memujanya, mengelu-elukan namanya. Tapi mereka tak pernah tahu seperti apa rupa si penulis buku terlaris itu.
Begitupun Taeyong. Ia tidak tahu—tidak sampai suatu hari ia duduk di kafe MaRoon.
"Bagaimana menurutmu?"
Seseorang yang tidak ia kenal tiba-tiba duduk di hadapan tanpa permisi, bertanya langsung pada inti. Tidak ada basa-basi. Taeyong terperangah. Ia tengah menyeruput kopi. Novel Langit Merah tergeletak di atas meja, bersisian dengan tatakan. Si lelaki asing—yang di kemudian hari akan ia kenal sebagai Ten—menunggu jawab, jari telunjuk mengarah pada buku.
"Tidak buruk." Sepasang matanya yang bulat semakin bulat.
Taeyong melanjutkan. "Bagiku, ini novel terburuk yang pernah ditulis Ten—terburuk yang tidak buruk. Terlalu kental oleh unsur sejarah. Aku seperti membaca buku pelajaran daripada novel. Interaksi peran utama dengan orang-orang sekitar juga tidak terlalu kuat. Ini tidak seperti Ten. Dia penulis yang sempurna. Orang yang tidak suka membaca pun akan tertarik untuk membaca karyanya."
"Aku terkesan," katanya.
Sebelah alis Taeyong naik sedikit.
Si lelaki asing tersenyum lebar. Senyum aneh dan misterius. Lanjutnya, "Aku terkesan memiliki pembaca yang cerdas sepertimu."Ia tidak bisa tidak terperanjat.
"Aku Ten." Dan tak ada yang bisa Taeyong ekspresikan selain tercengang.
Begitu banyak hal yang terjadi setelah pertemuan tak sengaja itu— Taeyong lebih senang menyebutnya bertemu keajaiban . Ia yang semula begitu canggung dan salah tingkah, lambat-laun mulai terbiasa dengan fakta bahwa lelaki yang sering berbincang dengannya adalah Ten si penulis terlaris. Taeyong lamat-lamat memposisikan diri sebagai teman, bukan pembaca setia.
Teman.
Ten pernah berkata; teman adalah isi kepalanya sendiri. Ada banyak perbincangan antar teman ilusi. Orang-orang tidak nyata yang dia ciptakan dalam otaknya lebih hidup daripada orang hidup itu sendiri. Ten dengan segenap pemikiran kompleksnya—bagi Taeyong tak ada yang lebih rumit dari itu. Tapi Ten yang cerdas namun bodoh dalam bersosialisasi itu mengikrarkan diri sebagai teman Taeyong.
Teman satu jalur pembicaraan.
Teman satu ranjang.
Teman satu rumah.
Teman yang mengecup dan dikecup sesama bibir.
Taeyong bukan homoseksual—begitupula Ten. Ia mampu menyelam bersama perempuan. Dua tahun lalu ia tergila-gila pada perempuan. Perempuan . Hidupnya selama dua puluh lima tahun ini bahkan dikelilingi oleh kaum yang terkenal sensitif itu. Berganti-ganti pasangan. Bertukar keuntungan. Taeyong bukan homoseksual. Seumur hidupnya ia hanya jatuh cinta pada perempuan.
Tapi Ten merupakan kasus lain. Taeyong bahkan sadar saat ia diam-diam mengagumi Ten, menyukai Ten; bagaimana ketika lelaki itu bicara, bagaimana ketika dia tersenyum—dan betapa lembut dan halus kulit seseorang yang semalam disentuhnya. Taeyong tidak pernah menyadari bahwa ia sebenarnya sudah terjatuh sejak lama; sejak kali pertama mereka berjumpa, saat ia berpikir betapa senyum Ten terlihat aneh dan misterius.
Hubungan keduanya sama kompleks. Tak perlu ada cinta untuk bisa tidur satu ranjang memang benar adanya. Ten tidak pernah memberontak. Taeyong tidak pernah protes. Ten mengalir, Taeyong mengikuti arus. Relasi yang terdengar sederhana. Tak terikat. Tapi rumit.
Namun, ada waktu ketika Taeyong menginginkan kepastian. Ada waktu saat egonya sebagai lelaki muncul ke permukaan.
Ten tengah merenung kala itu, mata menerawang ke luar jendela. Laptop menyala, belum ada kata. Kertas digital masih kosong. Taeyong perlahan merengkuh dari belakang.Ten tetap geming. Taeyong memutuskan untuk membubuhkan kecupan di leher, meniup-niup lubang telinga, meraba-raba hingga Ten menyerah dan ikut bermain.
Tak ada kata terdengar selain desah napas berat dan nama yang diucap lirih.
Kemudian keduanya berbaring di atas ranjang. Membisu. Mempertanyakan mengapa hubungan mereka bisa sampai begitu. Satu pertanyaan yang Taeyong lontarkan menjadi kunci kejelasan.
"Apakah kau menyukaiku?"
Apa kau cinta padaku.
Atau aku cinta padamu.
Taeyong memejamkan mata. Ia tahu. Sejak bertanya, ia tahu apa yang akan menjadi jawaban Ten—dan jawabannya adalah tidak ada. Pertanyaan yang barangkali takkan pernah menemui jawaban. Ten membiarkan keheningan mengambil alih.
Taeyong membiarkannya.
.
.
Ia tidak pernah tahu pada setumpuk draft yang tak kunjung usai—pada novel-novel setengah jadi yang terbengkalai, pada cerita pendek yang tak sempat terceritakan, pada sekian juta pembaca yang menunggu.Taeyong tidak pernah tahu betapa Ten lebih mengutamakannya.