Kedai kopi itu dijalankan secara turun-temurun nyaris tiga dekade, digagas oleh kakeknya yang sangat mencintai aroma kopi, dilanjutkan ayahnya yang juga mencintai cita rasa setiap racikan kopi, dan berakhir di tangannya (yang juga) menikmati apa pun yang berhubungan dengan kopi. Mula-mula hanya berkisar beragam kopi dalam negeri, lalu meluas hingga ada sekitar tiga puluh daftar kopi luar negeri yang bisa dipesan, meski masih didominasi kopi lokal.
Bagi Taeyong, tidak ada pekerjaan menyenangkan lain selain menjadi pemilik kedai kopi (serta, tentu saja, sebagai barista andal). Ia selalu menikmati hari-harinya, tak pernah mengeluhkan apa-apa yang berhubungan dengan profesinya, baik sebagai pemilik kedai maupun barista. Kedai kopi bernama Orazio itu diambil dari bahasa Italia, yang berarti doa. Hanya mendiang kakeknya yang tahu persis asal-muasal penamaan itu. Ia hanya mengetahui satu hal; bahwa kehidupannya akan berkisar seputar kopi, dan ia bersyukur atas kenyataan itu.
Dan, ya, tentu saja, selalu ada salah-satu dari sekian pelanggan yang mencuri perhatiannya. Kadang perempuan, kadang laki-laki. Tergantung hari. Setiap Rabu sore, si perempuan akan datang bersama kawan-kawannya. Perempuan itu memiliki tahi lalat di bawah bibir. Pokoknya cantik sekali. Sementara setiap Sabtu malam, si laki-laki yang datang. Mukanya masam, tidak ramah—matanya seakan memberi tahu bahwa lelaki itu sungguh tak ingin diganggu. Nah, lelaki itu juga cantik sekali—sederhana, tapi cantik.
Kalau boleh jujur, Taeyong lebih suka pada si laki-laki yang satu ini. Alasannya juga sederhana sekali; karena lelaki itu selalu tersenyum setiap kali menikmati kopinya. Hari ini hari Sabtu. Dengan tak sabaran, ia menunggu. Aneh memang, tapi demikianlah kebahagiaan paling sederhana dalam hidupnya. Ia hanya perlu menunggu, menyaksikan bagaimana si laki-laki menikmati kopinya dan tersenyum karenanya.
"Sepertinya dia tidak akan datang, hyung."
Waktu sudah menunjuk ke angka sepuluh malam. Benar juga. Taeyong agak murung. "Sepertinya begitu."
Pegawainya yang pendiam namun cerdas, membetulkan letak kacamata. Lelaki jangkung bernama Jung Jaehyun itu lantas berlalu untuk membuatkan kopi pesanan pelanggan lain. Taeyong memutuskan untuk beristirahat sejenak. Ia duduk sambil merenung, berharap laki-laki itu datang sebelum kedai tutup jam satu dini hari. Tapi laki-laki itu tidak datang, setidaknya Sabtu ini.
Pada Sabtu berikutnya, laki-laki itu akhirnya datang.
🌀🌀🌀🌀🌀
Ten tidak tahu apa yang membawanya untuk terus kembali ke Orazio, padahal pekerjaan menumpuk dan tidur pun rasanya terasa sangat pendek. Ia bahkan berpikir bahwa hidupnya sungguh monoton, tidur sebentar, bekerja, tidur lagi, bekerja lagi, tak ada habis-habisnya seakan waktu dua puluh empat jam tak cukup dalam sehari. Ia sudah seperti robot, kerja terus-menerus, sedangkan uang datang dan pergi dengan mudah.
Barangkali karena ia membutuhkan waktu istirahat, dan beristirahat tidak hanya perkara tidur tapi juga meminum kopi. Kopi yang tampaknya terasa sama saja, namun sebetulnya tidak benar-benar sama—seperti perbedaan kopi dari daerah mana saja yang katanya memiliki cita rasa khasnya tersendiri. Ia tidak sungguh-sungguh memikirkan rasa pahit itu, ia hanya ingin menenangkan beban pikiran dari segala tumpuk pekerjaan. Dan Orazio baginya adalah satu-satunya jawaban.
Atau justru laki-laki yang terlalu bersemangat itu; barista dengan papan nama Lee Taeyong.
"Kami menyediakan kopi varian rasa baru. Luwak crème brulle. Siapa tahu kau berminat mencoba? Aku sangat merekomendasikannya dan kopi ini sedang populer selama seminggu terakhir, menjadi kopi paling banyak dipesan urutan kelima setelah Matchaffee."
Ten berpikir. Ia selalu mencoba rasa baru yang ditawarkan barista itu, dan kali ini ia akan mencobanya kembali karena ia tahu ia takkan kecewa dengan rasanya.
