Malam datang pelan-pelan, sedikit berkabut.
Barangkali asap pabrik membuat langit menjadi gelap. Bintang tidak menampakan diri, begitu juga bulan. Hening. Anginnya menyibak lembut, membawa orang-orang untuk terlelap jauh, menelusuri mimpi; tak bertepi, terus-menerus, seakan malam takkan habis dilahap waktu. Mimpi meninggalkan kenangan tak berjejak yang anehnya selalu coba dicari-cari, diingat kembali. Meski mimpi selamanya menjadi mimpi.
Tapi kehidupan berjalan apa adanya. Satu orang mati, satu bayi dilahirkan. Semua hal mengalami perguliran. Sudah waktunya untuk tunduk. Keabadian hanyalah berupa dongeng-dongeng, seperti sekumpulan buku dari sastrawan terkenal seantero jagad raya yang kini lenyap tak tahu ke mana—oh, oh, tentu saja, buku-buku itu lenyap dimakan zaman. Tergerus. Seakan tiada arti, ibarat satu nyawa manusia yang hendak melayang malam ini.
Dia menari. Lelaki itu.
Gerakannya kacau akibat pengaruh minuman keras. Tangan kurusnya melambai-lambai tidak karuan, ada memar kebiruan di sekitar leher dan pergelangan lengan. Taeyong mengerjap. Malam sudah terlalu malam, merupakan berita sedih andai apa yang dilihatnya merupakan kenyataan. Sambil memejamkan mata, lelaki kurus dengan kulit sepucat purnama itu bergumam.
"Hidup ini kejam. Hidup ini membosankan. Hidup ini tak ubah selembar daun tak berarti, luruh di kala musim kematian tiba, jatuh terjerembab ke tanah. Siapa yang sudi memungut selembar daun itu sebelum angin menguburnya dalam kebisuan? Tolong beritahu kalau ada, hyung. Aku akan menikahinya."
Begitulah drama ini akan dimulai. Ada desahan napas memburu, serupa pejuang yang berteriak lantang di medan perang. Hidup ini rupanya juga seperti napas, kadang putus-putus, kadang memburu, kadang hilang sama sekali. Hasrat tumbuh mengakar dalam diri setiap jiwa, namun beginilah kenyataannya; akar terlalu muda mudah dicabut paksa. Hasrat hilang, hidup menjadi enggan.
Barangkali itu alasan yang membuat lelaki setengah mabuk itu ingin mati. Mumpung langit berkabut, bintang pulang, bulan murung. Biar ketiadaannya membawa keabadian, bertahan dalam ingatan satu manusia saja. Tidak mengapa. Urusan dosa bisa dipikir nanti, yang penting mati dulu. Mungkin habis itu dia tidak perlu memikirkan kerumitan problematika yang menderanya lima tahun belakangan ini.
Pemikiran orang yang lebih menginginkan mati daripada melanjutkan hidup memang sesederhana itu. Seperti yang dilakukan lelaki tersebut saat ini; menari, menari, menari. Menari di tepi jembatan besar. Dia naik ke atasnya, tubuh bergoyang-goyang tertimpa angin. Ketika seakan hendak jatuh, dia akan tertawa dan berkata dengan santai; hampir saja. Hampir saja.
"Kau harus melihatku, hyung. Kau harus melihat ketika aku terjatuh dari sini. Berdiri saja dulu, tunggu sebentar lagi. Ini akan menjadi atraksi paling mengagumkan yang kupersembahkan terakhir kali untukmu. Jangan mendekat, jangan. Jangan pula merayuku untuk berhenti dan turun, itu tak akan berpengaruh apa-apa."
Taeyong melihatnya. Ten, Lelaki itu. Kedua tangan membentang, merengkuh semesta dalam keheningan. Bulan mulai muncul, mengintip dari balik kabut. Kira-kira bagaimana akhir perjalanan lelaki putus asa itu. Hidup tidak pernah berpihak padanya, katanya. Bukankah lebih baik mati saja.
Kalau kehidupan sudah tidak lagi menginginkanmu, pastikan kau masih ingat bahwa kematian selalu menunggumu untuk datang padanya.
"Aku semakin dekat dengan kebebasan, hyung. Aku bisa merasakannya."
"Apa kau akan turun dan memercayaiku andai aku katakan bahwa ada seseorang yang memungut selembar daun jatuh dan menyimpannya dalam kotak kaca, Ten?"
Taeyong tidak mencoba berusaha, ia hanya ingin Ten mendengarnya—dan memercayainya, kalau bisa. Ia akan membuka paksa cakrawala jika perlu, agar Ten mampu merasa bebas tanpa membebaskan diri dari kehidupan. Agar Ten tidak pergi-pergi darinya. Malam berkabut ini adalah malam dari segala raja pengandaian. Andai Ten tetap menjatuhkan diri, setidaknya, sekali saja, biarkan Taeyong merasakan bagaimana manisnya melumat bibir itu.
