Prequel of song of pain.
Sebentar lagi pria itu datang.
Ten Lee melirik sebentar ke arah jam tangan, lalu kembali menyibukkan diri dengan setumpuk makanan dalam kardus yang harus segera ditempatkan. Cuaca tidak begitu bagus. Rintik-rintik hujan turun. Sesekali ia memandang ke arah jendela kaca, sekian orang berteduh di luar, beberapa di antaranya memilih masuk.
Doyoung menebar senyum manis pada setiap pengunjung yang datang. Tiga orang mulai mengantre di depan kasir, yang dibeli tidak begitu banyak—barangkali hanya formalitas untuk sekadar menjadikan minimarket sebagai tempat berteduh. Tidak buruk. Ten menghitung barang, lalu menempatkannya di tempat kosong. Ia kemudian menyeret kardus untuk memudahkannya mengisi bagian rak yang kosong.
Lima snack.
Empat pak pocky.
Dan lain. Dan lain-lain.
Atasan datang, menepuk bahunya pelan. "Kau lembur. Mark tidak masuk."
"Baik."
Apakah ia diberi pilihan? Tidak. Tidak. Ten tak terlalu peduli. Ia masih kuat sampai jam sepuluh malam nanti. Tidak apa-apa. Kebetulan ia membutuhkan dana tambahan untuk biaya berobat ibunya.
Orang-orang keluar-masuk. Waktu merangkak lambat. Ten tidak sadar, ia beberapa kali melirik jam. Ada helaan napas. Lelah. Doyoung sudah pulang entah dari kapan. Jam tangan dipandang terakhir kali.
Pria itu tidak datang.
Sudah, sudah. Ten mencoba fokus pada pekerjaan. Ia tidak pernah tahu apa yang akan ditemuinya selepas bekerja.
🌀🌀🌀🌀🌀
Ten melihat pria itu berdiri di samping tiang listrik. Syal melilit leher. Kemeja membungkus badan.
Langit sepenuhnya gelap. Gerimis tak ada lagi. Jalanan sepi. Ia tidak tahu apakah dewi keberuntungan benar-benar berpihak padanya atau justru sebaliknya. Ten tidak bergerak. Ia hanya mematung, tak begitu jauh dari sosok angkuh itu. Sepasang mata menilik tajam. Ia diam. Tidak terpengaruh.
"Ini tawaran terakhirku, Ten."
Terakhir. Ten memandang sepatu. Merenung. Apakah sejak awal ia tidak diberi kesempatan untuk memilih? Dunia bergerak sesuai kemauan orang lain—tapi tidak dengan dirinya sendiri. Semua orang ingin ia tunduk. Betapa menyebalkan menjadi orang miskin. Ten juga ingin memiliki pilihan dalam hidup. Ia ingin kaya dan memperkerjakan orang. Ia ingin berkuasa dan membuat orang lain tunduk.
Rasanya tak kuasa menahan tawa. Harapan selamanya akan menjadi harapan. Ia memang tidak diberi pilihan untuk mewujudkan harapan itu.
"Tuan—"
Pria itu mendekat. Pria yang empat tahun lalu menjadi kepala sekolahnya. Pria yang menorehkan luka begitu dalam. Ten enggan mengingat. Ia sudah mengubur semua kenangan buruk pada masa itu. Lee Taeyong. Seingatnya ia pernah menulis nama pria itu di buku diary, lalu ia robek. Kemudian dibakar. Hangus. Habis. Abunya terbang ditiup angin. Seketika ia lupa, luka semacam apa yang ditorehkan Taeyong padanya.
"Aku akan membayarmu."
Suara Taeyong terdengar tepat di depan telinga. Ten menunduk semakin dalam. Ada dua pasang sepatu. Murah dan mewah. Begitu kontras. Bibir bawah digigit. Tiba-tiba teringat Ibu yang terbaring lemah di ranjang. Teringat pula pada dua adiknya yang memerlukan biaya sekolah. Ia membutuhkan uang lebih dari sekadar untuk makan sehari-hari.
Blank.
Kedua kaki bergetar. Perut terasa sakit. Mata berkunang-kunang. Ten menyandarkan kepala di bahu Taeyong.
"Setiap satu sesi ranjang, tolong bayar saya."
Tidak ada pilihan.
Tangan besar Taeyong merayap, menyentuh punggungnya, mengusap-ngusap lembut. Terasa familiar. Ten merasa pernah merasakan sentuhan semacam itu.
"Jangan menangis."
Saya sudah sebegini kosong, saya tidak akan menangis.
Ten memejamkan mata.
Lagipula sejak tadi saya menunggu Anda, Tuan.
Senyum pahit memenuhi wajah.
Saya menunggu Anda.
Nemesism (n.) frustration and aggression directed against oneself.
