I thought you were my home.
Kata-kata itu akan selalu terpatri di dalam memoriku. Aku selalu berpikir bahwa dia akan menjadi rumahku. Dia akan menjadi sebuah rumah tempat di mana aku kembali, dari sebuah perjalanan panjang dalam hidupku.
Mengetahui dia akan berada disana, membiarkanku meletakan kepalaku di atas pangkuanya—dan menceritakan semua yang terjadi di dalam hidupku. Dia tidak akan menjawab, dia hanya akan tersenyum dan menyisir helai rambutku dengan jemarinya yang indah.
Aku tidak pernah berpikir dia akan pergi meninggalkanku. Sebuah konsekuensi yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.
Dia pergi meninggalkanku.
Kata-kata itu terdengar bodoh, dan satir. Dia adalah rumahku. Rumah yang aku bangun ketika dia tersenyum ke arahku. Kita telah melalui banyak hal. Tujuh tahun, dia bilang.
Tujuh tahun dia menjadi rumahku. Selama tujuh tahun dia selalu berada disana, menungguku dengan senyuman indahnya.
Tujuh tahun, dia bilang. Tujuh tahun yang dijalaninya bersamaku, aku selalu berpikir bahwa dia akan terus menjadi rumahku. Tidak ada yang bisa memisahkan kita, walaupun dia pergi—aku tahu dia pasti akan kembali.Tapi kini kepergianya terasa berbeda. Ranjang itu tidak lagi terasa sama, senyumannya memudar secara perlahan seperti matahari senja yang akan kembali ke peraduanya. Jemarinya yang selalu menyentuh wajahku dengan lembut, kini terasa dingin.
Dia berada di sisiku, tapi aku tidak bisa merasakannya.
Aku tahu dia akan pergi. Aku tahu apa yang telah kita miliki sudah tidak berlaku lagi, bahwa waktu telah merubah segalanya dan meninggalkan serpihan itu berserakan di lantai marmer yang tengah aku pijaki.
Aku tidak pantas memilikinya, tapi aku menginginkanya—begitu menginginkanya. Aku membutuhkanya seperti udara yang bergerak memenuhi rongga tubuhku, tapi aku tidak ingin menghancurkanya. Aku tidak bisa menghancurkanya, dan aku tidak akan membiarkan apapun datang di antara kita.
“Hyung, you deserve more love than the world has to give, but whatever love our black hearts can conjure belongs to you.”
Kata-kata itu terasa sangat dalam, dia menarik satu helai rambut hitam nya yang tertiup angin senja. Dia terlihat begitu siap memulai lembaran barunya, di dalam pikiranku—dia akan memulainya dengan sangat sederhana. Dia akan memulainya seperti yang selalu dia lakukan.
Dia akan pergi, memutar alunan musik klasik di mobil mewahnya—berharap bertemu dengan ribuan orang baru dan dunia yang belum di telusurinya. Dia akan bertemu seseorang yang membuat waktu berhenti untuk sepersekian detik ketika mata samudranya bertemu.
Aku selalu membayangkan bahwa dia akan terus berada disana, menjalani sisa hidupnya bersamaku. Tapi samudra itu tidak bergeming, musim semi telah berganti menjadi musim dingin yang menusuk.
Di hadapanku kini, dia hanyalah sosok asing yang tidak pernah aku kenal, menggunakan tubuh seseorang yang dulu sangat aku cintai.
Dia berdiri di ambang pintu, satu tas kecil berada di ujung sana. Dia membiarkan aku memiliki semua kenangan tentangnya melalui barang-barangnya yang berada di sini. Atau mungkin dia hanya terlalu muak membawa semua kenangan yang pernah kita miliki, dan memilih untuk meninggalkanya disini bersamaku.
Tidak ada yang tahu.
“When you break one addiction, it’s always by acquiring another one. Don’t ever fool yourself and think otherwise.”
Dia tahu bahwa aku telah tenggelam di dalam candunya. Dia berusaha melepaskan semua itu hanya untuk membuatku merasa lebih baik. Aku tidak menjawabnya, aku hanya menatap wajahnya untuk waktu yang sangat lama. Mengumpulkan memori sebanyak yang aku bisa.
“Taeyong hyung”
Suara itu bergema dengan lembut, aku tahu apa yang akan dia katakan selanjutnya. Aku telah mengenalnya melebihi diriku sendiri.
“I’m in love with someone else. I can’t explain how this feels because I don’t think anyone else can understand it. This is the person I was meant to be with, I’m sorry hyung.”
Ini bukanlah perpisahan pertama kita—tapi aku merasa bahwa ini adalah perpisahan terakhir kita.
Ketika menemukan samudra itu berdiri dengan tenang disana, aku tahu bahwa dia tidak akan pernah kembali.
“How many memories of you should I think of so I can get it all over with, Ten?”
Samudra itu tidak menjawab, tidak menjawab. Dia mendekatkan tubuhnya, sebelum bibirnya menyentuh bibirku dengan lembut.
“You’re the ocean that keeps me drowning.” Aku bisa merasakan riak suaraku tenggelam di dalam sentuhannya, dia membawaku ke dalam pelukannya—memberikan satu kesempatan terakhir untuku merasakan dirinya. Mengetahui bahwa ketika aku membuka mataku di pagi hari, dia telah menghilang untuk selamanya.
“I’ll break myself into pieces just to keep you whole, Ten.”
Tapi untuk detik ini, aku akan meninggalkan semuanya disana dan membiarkan Ten menyakitiku lagi dengan menorehkan belati putihnya secara perlahan. Karena itu adalah satu-satunya hal yang membuatnya bertahan—dengan menyakitiku.
Sometimes I just think about him. That will never change, even when he stops thinking about me.–
![](https://img.wattpad.com/cover/181681796-288-k773267.jpg)