Sudut Pandang

34 5 0
                                    

ABO universe

Sekian mimpi terbangun, separuh tanggal tak tergapai. Mungkin terlalu jauh—atau sesuatu yang dekat itu mulai menjauhkan diri, atau justru kita sendirilah yang menjauhi mimpi itu. Tapi pada setiap mimpi yang pupus, selalu, selalu melahirkan mimpi baru. Selayaknya kehidupan tempat orang-orang mati, sekaligus tempat bayi-bayi lahir.

Barangkali semudah itu mendefinisikan perjalanan hidup Ten. Membangun mimpi perlahan-lahan,lantas pencapaian terbaiknya terpaksa terhenti karena ia mau tidak mau harus menerima kenyataan bahwa seksual sekundernya adalah omega. Ten mulai membuat perisai, membatasi diri, enggan bersosialisasi.

Mula-mula tidak demikian. Ia mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa ia mampu melewati semua ini. Tapi menjadi omega tidak semudah kelihatannya. Setiap bulan ia harus menahan rasa sakit, tak peduli sekian butir obat yang direkomendasikan dokter, ia tetap tak berdaya pada seksual sekundernya.

Maka, Ten menanggalkan salah satu mimpinya itu dan memilih untuk menemukan mimpi baru, mimpi baru yang mungkin saja akan membawanya pada kedamaian, pada ketenangan yang tak ada habis, yang membantunya menemukan jati diri—menemukan kembali dirinya yang baru (atau barangkali dirinya yang telah lama ada, namun baru diketahui keberadaannya). Ia hanya perlu duduk, memandang jendela, menikmati secangkir kopi lantas menuliskan kisah hidup orang lain.

"Apakah begini lebih baik bagimu?"

Seorang teman lama, bertanya dengan nada sendu. Ten tertawa renyah seperti bukan dirinya sendiri, lalu lelaki itu—Jaehyun—memasang muka murung seperti bukan Jaehyun. Tampaknya orang-orang, di suatu masa, suatu waktu, pernah menjelma menjadi orang yang sama sekali lain untuk menutupi sesuatu, luka misalnya. Dan memang itulah yang dilakukan Ten.

"Kau seorang alpha, Jaehyun. Aku tahu kau pasti bisa menggapai mimpimu yang satu ini."

Diucapkan dengan seulas senyum, Jaehyun tahu Ten tengah menyembunyikan kesedihan.

"Kalau aku jadi kau, mungkin aku akan bertindak bodoh. Aku tidak memiliki mimpi lagi. Aku mana bisa hidup tanpa satu-satunya mimpi yang aku punya."

Ten tidak mengatakan apa-apa setelah Jaehyun menyapu bibirnya yang kering dalam sekejap mata. Ia juga tidak meminta penjelasan. Sebab, rasanya, ia tidak akan menemukan apa pun dalam kata-kata Jaehyun, kata-kata yang tampaknya hanya akan terbuang percuma, sia-sia tanpa arti seumpama ciuman singkat di dekat jendela sore itu. Ten hanya mampu melambaikan tangan pada kepergian Jaehyun. Lelaki penuh semangat dan ambisi tersebut lenyap menjelang malam dalam kedamaian yang akhirnya membimbing ia pulang.

Dalam sekian lembar kertas digital, ia menuliskan segalanya. Segala-gala yang ia rasakan, perasaan yang kemudian terbawa terbang dalam setiap kalimat yang tercipta dari jari-jemarinya, perasaan yang lantas hilang dikikis waktu. Dan ketika pagi menjelang, ia mulai menikmati kehidupan dari sudut pandang yang berbeda:

"Tidak ada kopi senikmat pagi ini."

Kalimat tersebut akan kembali dikatakan keesokan paginya, keesokan paginya lagi, begitu terus hingga ia bertemu titik jenuh yang lalu membawanya pada kenyataan lain bahwa segenap rutinitas ini ternyata sungguh menjemukan. Buku-buku yang memuat namanya terpajang di setiap penjuru perpustakaan, menciptakan ruang tersendiri bagi orang lain—dan bagi dirinya sendiri, bagi Ten, semua pikiran yang ia tuangkan merupakan muntahan kata-kata agar isi kepalanya tidak sempit lagi, agar ada ruang lain—walau sedikit—untuk kembali diisi oleh keluh-kesahnya terhadap waktu, cinta dan hidup.

Ten sudah tidak lagi mengeluhkan seksual sekundernya. Ia justru mulai menemukan titik menyenangkan saat hari menyakitkan itu tiba. Obat-obat sengaja ia singkirkan agar ia dapat menikmati kesakitan yang perlahan berubah nikmat itu. Ia menikmatinya. Membiarkan dirinya sendiri mengatasi hasrat menggebu-gebu, berteriak hingga tenggorokan terasa sakit lantas jari-jemari itu tak hanya menciptakan kalimat puitis, tapi juga membantunya mengurus ereksi.

Limerence - TaetenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang