Tentang ini, Taeyong sudah lama berpikir, lama sekali, jauh sebelum ia melabuhkan diri pada integer-integer kompleks dan alfabet yunani, oh, bahkan sebelum ia mengerti banyak teori bilangan dan mempertanyakan isi kepala Descartes; ada dua jenis manusia yang sekalipun dunia mengalami keruntuhan, ia tak sudi diasosiasikan dengan mereka dalam hal apa saja:
(1) Ten
(2) Lee.(oh, yeah, ia ingin membagi lelaki itu jadi dua dan melemparkannya ke samudra antartika.)
Argumennya begini: ia bukan pria sosialita, lupakan soal bergaul dan menyambangi pesta, jurnalnya lebih menarik untuk diperhatikan, dan biar saja kolega-kolega (-sumpah mati ia tak akan menyebut mereka teman) di kelas yang ia ambil menganggapnya tak lebih responsif ketimbang gas mulia (ia toh menganggap mereka setara udara, dan itu artinya ia tak peduli sama sekali). Ia dengan senang hati akan menolak, dan mereka dengan senang hati tidak akan mengajak; cukup adil, bukan? Adil, seandainya saja suatu ketika si mata empat tidak tiba-tiba mencegatnya di jalan pulang dan menyodorkan invitasi yang tak ia ingin hadiri, setiap hari, semenjak mereka mengambil kelas kalkulus II dan dipasangkan dalam grup yang sama.
"Ini akan seru", kilahnya saat Taeyong mengangkat sebelah alis. Si kacamata itu mestinya bersyukur ia menggerakan sedikit otot mukanya sebagai tanggapan, sebagai bentuk penolakan halus (yang segera ia sesali di detik selanjutnya sebab Ten tidak diberkahi kemampuan untuk mendeteksi hal-hal terlampau subtil).
"Tidak." Jadi Taeyong memilih jawaban standar yang sudah dikulumnya sedari tadi untuk menghentikan paksaan Ten(Taeyong merasa dipaksa mengikuti percakapan sepulang kuliah ini, oke?).
"Kau yakin?"
Tidak pernah seyakin ini, "ya."
🌀🌀🌀🌀🌀
Dan ya, sejak awal Taeyong pun tak pernah berpikir Ten akan berhenti. Tidak dengan satu kata, tidak dengan seribu kata; tidak dengan bahasa tubuh berimplikasi, tidak pula dengan ucapan blak-blakan yang semakin ke sini ia pahami sebagai cara paling benar untuk meresponsnya walau tetap tak berhasil untuk perkara satu ini.
Oh sungguh, tangannya yang menggenggam lembar analisa intergral berbau fotokopi sudah bertahan terlalu lama untuk tidak meraih pundak lelaki itu dan menggesernya dari jalan yang ingin ia lewati. Ada dua tugas yang minta ia selesaikan serta ujian di kelas pengganti sebelum akhir pekan, dan wajah kacamata berembun Ten bukan sesuatu yang ingin ia temukan di perjalanan pulang, lagi.
"Kau kenal Johnny dan Jaehyun yang sekelas denganmu di aljabar linier dulu, 'kan? Mereka juga akan datang," ia menyodorkan lagi kertas invitasinya, lebih baik dari yang dulu karena tidak ada lagi ilustrasi kekanakan yang terselip, bukan berarti Taeyong jadi tertarik dengan apa namanya klub hari rabu? Terlalu edgy bahkan dibandingkan dengan nama nya yang ditulisi pada banyak piagam.
"Pasti akan seru, huh?" semoga sarkastisnya tidak disalahartikan, pikirnya, tetapi ia tidak banyak berharap pada isi kepala Ten ketika menoleh, sudah siap dilempari pernyataan afirmasi berbuntut persuasi. Tetapi, entahlah ia lagi-lagi tak yakin, sudah kali ke berapa Ten berhasil menggagalkan prediksinya dengan cara yang tak pernah ia sangka-sangka.
Ten tidak menjawab, lebih memilih untuk menunduk dan memerhatikan sepatu tanpa cela Taeyong (sepatunya pantas dan ia telah mengikat talinya dengan baik, jadi apa yang salah sekarang?).
"Sebenarnya beberapa hari ini jadi tidak begitu seru karena-,"
-nah, nah, nah, terima kasih, tapi tidak, terima kasih. Taeyong benci ini, benci sekali. Rambut Ten bergoyang ketika ia mengangkat kepala, dan bahkan, bahkan, Taeyong nyaris tak bisa menahan umpatannya tetap berada di tenggorokan hanya karena wajah itu, dan ekspresi itu, (god damn it, god damn it) sama sekali bukan jenis yang bisa Ten miliki. Sejak kapan Taeyong jadi mengabaikan lensa tebal artifisialnya dan memfokuskan diri pada matanya yang jernih (dan oh, ya, oh ya, sepuhan merah muda di kedua pipinya yang lebih medistraksi ketimbang seharusnya pijar lampu jalan yang tiba-tiba dinyalakan) Hari sudah menjadi malam dan dadanya terasa bergemuruh saat kalimat Ten berlanjut-
"-kau tak ada."
Apa? Taeyong kehilangan pijakannya pada dunia, atau, itu lebih baik daripada benar-benar mendengar apa yang Ten katakan dan menyaksikan sepasang semburat yang ia tampilkan. Semoga dunia tidak ikutan runtuh bersama tulang rusuk Taeyong beserta organ di dalamnya.
Baiklah, baiklah. Dan ini bukan karena wajahnya jadi manis atau apa. Taeyong tidak ingin perjalanan pulang sekolahnya yang semestinya tenang harus terus-terusan mendapat gangguan dari luar dan dalam (hati). Lagipula ia tidak cukup antagonis untuk mengatakan tidak pada Ten setelah semua ini.
"Ugh, baiklah," Taeyong lebih memilih untuk menatap ransel yang tercantol di bahu Ten ketika menambahkan, "kau juga tidak akan berhenti meski aku menolak lagi, 'kan?"
Ten mengangguk, senyumnya melebar.
(-dan Taeyong tahu ia tak akan pernah bisa membenci fitur Ten yang satu ini.)
.
