Semua bermula dari kisah sedih dan sekaleng bir, di dalam bar kecil.
Katanya, "kesedihan selalu membutuhkan teman."
Kau pernah mendengar kalimat itu, entah di mana (yang akhir-akhir ini baru diketahui bahwa itu ada dalam cerita pendek yang pernah kau baca, di suatu pondok kopi yang menyajikan beragam jenis buku; salah-satunya Memorabilia Kesedihan). Kesedihan membutuhkan telinga; untuk mendengar ratapan-ratapan, yang, meski telah berulang kali dituturkan, duka itu tetap enggan hilang. Teman kesedihan tidak cuma telinga, tidak pula sekaleng bir. Kadang kau ingin lebih dari keduanya; sosok yang tidak hanya mendengarkanmu, tetapi juga memahamimu, memahami lukamu.
Kau menginginkan dia menjadi sosok itu. Dia yang duduk di sampingmu, yang warna matanya begitu terang.
Tidak perlu formal dengan bertukar kartu nama, cukup mengatakan kebenaran atas identitas masing-masing—meski sebenarnya yang demikian itu tidak penting, sebab nama akan dilupakan setelah berpamitan—sebagai pembukaan dari kisah-kisah sedih yang sebentar lagi akan memenuhi ruangan. Kau katakan dengan jelas bahwa kau menginginkan mati. Secepatnya. Dia mengulas senyum misterius, membuka kaleng bir kedua, menenggaknya, lantas menatapmu lama.
"Kau ingin mati. Secepatnya. Aku ingin hidup. Seribu tahun." Kemudian dia tertawa hambar, mengajakmu bersulang meski bir dalam kalengmu sudah tidak banyak bersisa. Kau ikut tertawa. Konyol. Padahal tidak ada lelucon.
Cerita mengalir, semakin malam, semakin mendalam. Menuju pagi, kau sudah tidak ingat lagi soal kematian, pun kesedihan yang merangkak di pundakmu selama ini. Yang ada dalam kepalamu ialah pikiran-pikiran kotor, bahwa kalian harus tidur bersama setelah lewat pukul lima. Kau tidak pilih-pilih soal jenis kelamin, sepertinya dia juga demikian. Ada jeda cukup lama tatkala mata kalian berjumpa, menelisik, melihat kabut nafsu di antara kesedihan-kesedihan yang perlahan menguap sementara.
"Apa aku salah mengira?" Kau bertanya-tanya.
Dia menggelengkan kepala. "Tidak. Aku paham tatapanmu, sebab tatapan itu juga milikku."
"Kalau begitu, untuk apa kita masih di sini."
"Menguapkan kesedihan."
"Dia selalu datang kembali; kesedihan itu."
"Setidaknya dia bisa hilang, meski hanya dalam waktu tertentu."
Kau tersenyum. Dia tertular senyumanmu. Senyumannya tak pernah terlihat tulus, seperti ada teka-teki, menantang untuk dipecahkan. Lengkungan di bibirnya terlalu sempurna, bagai dilatih lama. Lalu sepasang iris matanya yang coklat lenyap. Kau pernah melihat jenis senyuman itu; ada dalam film tentang seorang psikopat. Menggorok manusia tak beda menggorok ayam. Apakah kau akan digorok malam ini, di atas ranjang hotel murah, oleh laki-laki yang baru kau temui? Nonsense. Seandainya kenyataan pun, kau tidak keberatan. Bukankah itu keinginanmu—untuk mati, secepatnya?
Sekilas kau lupa bahwa kau ingin mati.
[1:31 AM]
"Kalau Tuhan benar ada, Dia akan menenggelamkanku dalam lautan api yang bergejolak."
"Kenapa bisa begitu?"
"Karena aku pasti mati bunuh diri."
"Apa yang salah dari mati bunuh diri?"
Kau menatapnya. "Tentu saja, karena tidak sesuai kehendak Tuhan."
"Apakah kau terlahir ke dunia ini sesuai dengan kehendakmu?"
Kau menggeleng. "Tidak."
