[1]
Ten menatap padanya kemudian menemukan ini: pucat, gelap, keunguan, dingin, (ia yang dingin), sakit, dan kuning yang menyala, kuning, tidak begitu kuning, mungkin olive.
Dan yang ia ingat saat itu, seharusnya ia (ingin) mati.
[2]
Tidak ada yang buruk dari pekerjaan ini sebenarnya kalau Ten sedikit saja mau bersyukur. Ia hanya perlu datang di waktu matahari sudah muncul dan pulang ketika matahari yang sama tenggelam. Ia cukup duduk di depan monitor, menyortir ratusan file yang bercampur di antara label penting dan tidak penting, mengolah yang penting menjadi informasi dan mengirimkannya kembali pada petinggi perusahaan. Di siang hari waktunya makan, ketika kawannya yang lain berbondong-bondong menghambur menuju kafetaria, Ten hanya akan menarik kotak bekalnya dan berjalan lemah menuju balkon gedung yang tak berpenghuni.
Di saat itu ia tahu bahwa tak ada yang buruk dari pekerjaan ini, yang buruk hanya hidupnya, dan kesepian yang perlahan menggerogotinya, seperti caranya menggerogoti roti lapis hasil uji cobanya pagi tadi.
Ia ingin menghilang.
Dan ia melihat balkon itu seperti memberikan peluang.
[3]
Ten menjalani segalanya dalam skala detik, karena hanya dengan begitu ia mampu lebih lama bertahan. Lima ribu lima ratus detik sebelum makan malam dengan mie instan dari kedai di dekat sini, sembilan ratus delapan puluh empat detik sampai mie-nya tandas bersama air mineral. Delapan puluh detik di dalam toilet sebelum menjatuhkan diri ke atas kasur lipat.
Sepuluh detik sebelum (harusnya) jatuh terlelap.
Seratus detik selanjutnya di mana (semestinya) matanya lelah terbuka dan berakhir terpejam rapat.
Tiga ribu enam ratus empat puluh detiknya terbuang untuk mengamati langit-langit kamar. Saat itu sudut matanya basah, dan ia tahu ia tidak akan berhasil tidur sampai pagi datang. Ia membiarkan lampu tetap padam saat beranjak dari kasur dan menarik laci keras-keras, mengeluarkan botol pilnya.
Ia ingin tidur selamanya. Berapa detik selamanya itu?
Pil-pilnya tumpah di atas tangan ketika ia menuangkannya, Ten tak cukup sabar untuk meraih gelas minuman; tapi sebelum ia berhasil menggenapkan usahanya dengan menelan semua pil di dalam rengkuhan tangan itu, sesuatu, seperti bisikan halus, lembut, mengalun di telinganya:
"Aku tidak akan melakukannya jika aku menjadi dirimu."
[4]
Namanya Lee Taeyong dan ia bilang ia seorang dewa kematian. Ten menganggukkan kepala percaya, sedikit mempertimbangkan untuk menambahkan pil sakit jiwa ke dalam resep yang mesti ia tebus di apotik minggu depan. Lebih dari Ten yang seharusnya mengawasi orang itu dengan seksama dan mempertanyakan bagaimana caranya masuk ke dalam flat ini, pria itu yang justru memerhatikannya dengan raut terlampau keheranan.
"Ini berbahaya, kau tidak seharusnya mudah percaya pada orang asing begitu saja."
"Jadi kau ingin aku tidak percaya dan mengusirmu dari sini sekarang juga?"
Di luar ekspektasi Ten, binar kuning kehijauan itu menyala jenaka sebelum pemiliknya larut dalam tawa.
"Sudah kuduga, kau memang orang yang menarik," ia memainkan fedora hitamnya di kedua tangan, "dan omong-omong, apa aku boleh menginap di sini?"
"Terserah kau saja. Toh aku tidak akan lama lagi tinggal di sini."
[5]
Waktunya kini berputar lambat, tidak dalam detik atau bahkan menit, waktunya kini menjelma dalam hitungan jam. Tak ada lagi roti lapis hasil uji coba untuk sarapan dan bekal makan siang, atau mie instan sebagai makan malam dari kedai di seberang jalan. Ten dalam hitungan seperempat jam ketika terbangun dan merapikan diri, menemukan tumpukan bahan makanan di dalam kulkasnya, sedikit dari sana telah matang dan disajikan di atas meja makan. Menunya didominasi oleh sayuran.
