Hujan, ia hampir-hampir menyeringai ketika menatap awan mendung yang menebal di balik atap-atap rumah; untuk sekali ini saja rasanya ia tak keberatan jika cuaca muram yang mendominasi kota bertahan seharian. Hujan, tepat di tanggal empat belas Februari, dan gadis-gadis itu mungkin akan berkabung seharian.
"Wajahmu…" Ten bergumam geli di samping Taeyong, satu tangan menutupi senyum di wajahnya. "Semua kedongkolanmu benar-benar tertulis di wajah, hyung."
Mengangkat bahu, Taeyong membenarkan tali tas di salah satu pundak, lantas menutup loker sepatu dengan gerakan abai. "Beri aku alasan untuk tidak merasa dongkol."
"Mm, setidaknya kau beruntung karena mendapatkan camilan yang sangat banyak? Cokelat-cokelat itu kelihatan enak!" Ten mencoba menjawab tantangan ringan dari Taeyong seraya menunjuk plastik besar berisi cokelat yang tengah Taeyong genggam dengan sebelah tangan. Bersemangat. "Kau bisa memakannya saat menonton film atau mengerjakan tugas. Dan kau tidak perlu repot-repot ke minimarket untuk membeli makanan manis sampai dua minggu ke depan."
"Aku akan membuangnya ketika kau tidak melihat."
"Jangan berani-beraninya." Terkekeh, Ten menyikut pelan sisi tubuh Taeyong, lantas tersenyum tipis. "Aku akan membantu menghabiskannya, tapi… jangan dibuang."
Taeyong tertunduk. Separuh wajahnya tersembunyi di balik ikatan syal selagi ia menatap kotak-kotak cokelat yang ia jejalkan sembarangan dalam satu kantung plastik. Pita merah, bungkusan berwarna pastel, kartu-kartu terikat rapi menggunakan benang warna-warni. Ada beberapa kotak cokelat yang mencantumkan nama, tetapi sisanya hanya disemati kartu ucapan anonim. Selalu seperti ini efek Hari Valentine untuk Taeyong: barang bawaan yang bertambah, juga cokelat yang mustahil bisa ia habiskan sendirian. Sekali lagi Taeyong menghela napas, berat. Betapa ia tak habis pikir apa yang membuat gadis-gadis itu begitu bersemangat menyambut tanggal empat belas Februari, apa sebenarnya pengaruh dari semua cokelat ini karena sampai kapanpun ia takkan bisa membalasnya Maret nanti—juga mengapa Ten bersikeras agar Taeyong menerima seluruh cokelat ini.
Ia melirik Ten. Ia memperhatikan si pemuda yang kini berdiri bersisian dengannya, hampir melupakan fakta bahwa dalam hitungan menit mereka harus menerobos hujan hanya dengan menggunakan sebuah payung. Tidak akan terlalu berpengaruh, ia menyimpulkan tanpa kesulitan, sebab hujannya kini tak lagi berupa gerimis. Angin menghentak ribut di balik jendela gedung sekolah, membawa keping-keping es yang menciptakan suara berisik ketika membentur atap. Dingin, seharusnya kau memakai jaket yang lebih tebal—kau boleh meminjam jaketku.
Taeyong memainkan bagian tepi jaketnya, menimbang-nimbang dalam diam sementara wajahnya terasa agak menghangat. Mengapa hingga kini ia selalu kesulitan mengungkapkan isi benak pada Ten? ia pikir ia sudah terbiasa, namun nyatanya tidak—mungkin semua ini adalah bagian dari kimia perasaan yang selalu menolak bekerja sama dengan Taeyong. Merepotkan sekali.
"Hyung…?"
"Ah, maaf." Taeyong berpaling, mulai melangkah keluar dari ruang loker sepatu. Ten menyusul Taeyong tanpa kesulitan seraya membawa payung berwarna biru gelap yang sudah dibuka—payung Ten, karena Taeyong selalu mengabaikan saran sang ibu untuk membawa payung, menganggap isi tasnya sudah penuh dengan buku pelajaran, kaus ganti, dan sepatu olahraga.
"Mau aku saja yang memegang, atau…"
"Aku saja."
Ia mengulurkan tangan, mengambil gagang payung dari genggaman Ten, dan ia ikut tersenyum ketika mendapati Ten tersenyum lebar. Yang mengiringi langkah kaki mereka setelah itu hanyalah suara air yang berkecipak di bawah sol sepatu, juga gemerisik plastik dalam genggaman. Napasnya berkabut, serupa awan putih yang serasi sekali dengan kota yang kelabu sebab dibalut hujan. Tanda bahwa musim dingin tahun ini mungkin akan bertahan lebih lama dari biasa.