Cottage Pie

255 45 7
                                    

"Oh, morning, Ten"

Ten mematung. Pasalnya, mendapati seorang Lee Taeyong berdiri dengan kedua lengan bersilang tidak jauh dari konter dapur apartemennya—ralat, maksudnya apartemen mereka berdua—adalah satu dari sekian hal yang paling Ten hindari. Tidak selalu juga, sih. Ten memiliki waktu yang lebih spesifik kapan Taeyong harus melihatnya di dapur, dan kapan Ten harus berjaga-jaga agar laki-laki itu tidak menangkap basah dirinya.

Well, contohnya seperti sekarang ini.

Seharusnya Ten bisa bangun lebih pagi lagi jika ingin lama-lama berkutat dengan tepung dan telur, atau oven juga bumbu-bumbu tertentu. Tentu sebelum Taeyong datang lalu mengacaukan segalanya.

"Sedang apa kau pagi-pagi—" kalimat tanya Taeyong terhenti, kening mengerut samar begitu sepasang manik nya berpindah fokus dari Ten ke hal yang lebih—menarik, mungkin?

Ten mendesah pelan. "Seperti yang kau lihat, hyung. Aku hanya—"

"Cottage pie?" nada dalam suaranya sedikit sarkas, tipikal Taeyong sekali. "Kau memasak?" dan kali ini lebih ke dalam rasa tidak percaya.

"Hanya mencoba-coba," kilah Ten berasalan, ia membetulkan letak kacamatanya lalu kembali menenggalamkan diri pada adonan setengah matang yang sempat terabaikan. Ini sudah yang ke lima kalinya, batinnya miris. "Tidak ada maksud tertentu."

Lima kalinya gagal, maksudnya.

(Dan ia mencoba mengabaikan eksitensi Taeyong dengan sikap diam dan alis terangkatnya memandangi empat wadah alumunium foil berisi hasil panggangan yang menurut penilaian Ten—juga Taeyong—jauh dari kata sempurna).

"Kau terlalu lama memanggang daging sapinya," sahut Taeyong tiba-tiba, entah sejak kapan ibu jari dan kelingkingnya sudah mencuil salah satu cottage pie buatan lelaki itu. "Rasanya agak gosong."

Ten meringis dalam hati. Ia tahu itu, ia tahu.

"Cincangan dagingnya belum halus," ujarnya lagi, beralih pada pai yang lain, "Ten, anak kecil bisa tersedak jika kau memotong dagingnya sebesar ini."

"Itu—"

"Dan apa ini?" belum jera dengan hasil pengamatannya, telunjuk Taeyong menuding tepat ke arah percobaan paling ujung. "Tidak ada yang ingin memakan pai setengah matang seperti ini, Ten."

Astaga, jujur sekali.

Seharusnya Lee Taeyong berprofesi sebagai komentator makanan saja daripada menjadi seorang direktur muda. Atau chef mungkin lebih baik.

Ten memijit pelipisnya pelan, mendadak ia merasa pening. Lain kali, ingatkan dirinya nanti meminjam dapur di restoran Jaehyun atau di rumah sakit tempatnya bekerja jauh lebih baik ketimbang di apartemennya sendiri. (Jika ia tidak ingin mendengar sindiran Taeyong).

"Dan, oh, kau masih membuatnya? Memang bisa dimakan?"

"Jangan yang ini," Ten menjauhkan satu percobaan terakhirnya dari jangkauan Taeyong. Kalimat memang bisa dimakan yang dikatakan Taeyong tadi terlalu menohok. "Dapurnya berantakan, lebih baik kita makan di luar—"

"Ten"

"—saja. Apa? Tidak, hyung. Jangan beri aku tatapan memerintah itu."

"Ten."

"Dengar—"

"Ten Lee."

"Oke, baiklah."

Adonan campuran terigu-telur berperisa kaldu yang dipanggang itu kembali diletakan, membiarkan Taeyong dengan leluasa mencomot pinggiran berwarna cokelat tua hingga merobek bagian tengahnya sampai terlepas. Satu ukuran cottage pie yang tidak terlalu besar, tapi juga tidak terlalu kecil.

Ten menatap cemas begitu mulut Taeyong terbuka, ketika ujung lidah menyentuh setiap racikan bumbu termasuk cita rasa dan tetapan waktu panggang adonannya, daging sapi yang tercincang secara halus (Ten berharap itu), hingga asin dan gurih menyatu dalam satu kunyahan lama.

"Ten,"

Sebelah alis Ten terangkat. Kerutan di kening Taeyong sudah menjawab rasa cemasnya.

"Kenapa kau menambahkan apel ke dalamnya? Rasanya manis, dan aneh."

Oh, ketahuan ternyata. Seperti yang selalu direktur muda itu bilang selama ini—

—he's bad at cooking.

Taeyong melirik sejenak bak pencuci piring yang penuh dengan wadah berbagai macam bentuk, sendok dengan beberapa ukuran, pisau bahkan satu keranjang apel yang tergelatak bisu tidak jauh dari tempat penyimpanan cangkir dan mangkuk.

Apel. Merah dan hijau. Bahkan salah satunya sudah menjadi korban mutilasi dan tergeletak manis di atas talenan.

"Kau tahu, ini hanya percobaan."

"Tidak apa-apa, tidak apa-apa." sudut bibir Taeyong menekuk geli, ia mengecup pelan kening koki dadakannya itu cepat lalu berkata. "Tapi cottage pie yang ini, rasanya lumayan juga."

Ten berdeham kecil. "Kau boleh tertawa kalau mau, hyung."








Limerence - TaetenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang