Suatu Hari Di Masa Depan

267 41 6
                                    

Ada buku yang ingin aku beli. Kau mau menemaniku sore ini?

Pesan dikirim secepat kilat. Ten kembali mengantongi ponselnya. Syal yang melilit di leher dibetulkan letaknya, telapak tangan yang telanjang diusap-usap berlawanan arah—lupa tidak membawa sarung. Ada uap putih mengepul di antara mulut. Ia memutuskan untuk masuk ke dalam kedai kopi dan duduk di pojok kanan dekat jendela. Buku setebal tiga sentimeter ditaruh di atas meja, dibiarkan dalam keadaan terbuka pada halaman delapan tujuh.

Pintu bergemericing. Seorang pria dengan topi beret dan jaket coklat kumuh memasuki kedai. Ten tidak sengaja memerhatikan—tepat ketika pria itu melihat ke arahnya. Ia mengerjap lantas cepat-cepat mengalihkan pandangan ke mana saja. Seorang barista datang tak lama kemudian, memberikan daftar makanan sekaligus minuman. Tak perlu menunggu lama, ia langsung memesan kopi espresso. Panas. Pahit. Paling cocok di saat musim dingin begini.

"Aku tahu kau memang berada di sini, Tennie."

Ten terperanjat ketika pria dengan gaya pakaian kuno tersebut duduk di hadapannya. Ia tidak tahu bagaimana bisa pria itu mengetahui namanya—dan, astaga, Tennie! Mendadak mengingatkannya pada kawan sejak sekolah dasar, mengingatkannya pula pada dua orang aneh yang pernah ia kenal saat SMA. Ten hendak bicara namun enggan saat barista datang membawakan kopi pesanannya.

"Terima kasih."

Pria itu bahkan mengucapkan terima kasih pada si barista.

Membetulkan letak kacamata, Ten mulai bicara. "Maaf, Tuan, tapi saya tidak mengenal Anda."

Ada senyuman ganjil yang anehnya tidak begitu asing di matanya. Pria tersebut lantas melepaskan topi beret dengan perlahan, arah pandangan Ten terpaku pada topi yang kini tergeletak bersisian dengan bukunya itu, baru kemudian ia memandang pria tersebut—tunggu, ia mengenal pria ini, sangat mengenalnya hingga ia tak percaya pada pengelihatannya sendiri.

"Taeyong hyung."

🌀🌀🌀🌀🌀

Ada banyak hal yang terjadi di masa depan. Beberapa negara tenggelam karena es di kutub utara mencair dan hanya sekian persen yang kembali membeku. Korea merupakan salah satunya. Tapi hal demikian tak lantas melenyapkan peradaban, teknologi semakin canggih dan terciptalah sebuah kota di atas air, mobil terbang dan kereta cepat melalui terowongan transparan yang terhubung dari satu kota ke kota lain.

Eksperimen-eksperimen baru dikembangkan, termasuk mencoba mengubah kota yang kaku menjadi bangunan-bangunan fleksibel yang mampu dipindah-pindah. Pepohonan hilang harapan, perlahan mereka lenyap dan menjadi tanaman langka yang mahal sekali. Tapi, lebih dari itu, mesin waktu telah tercipta untuk menelusuri sebab-akibat es di kutub utara yang mencair, mencoba untuk memperbaiki dunia dengan memperbaiki semuanya seawal mungkin; yakni mengubah pandangan manusia di masa lalu agar menjaga alam sebaik-baiknya.

Namun, rupanya mesin waktu sudah tidak lagi berarti, sebab setiap waktu memiliki pararelnya tersendiri. Di dunia Ten sekarang ini, es di kutub utara mencair dan membeku dengan stabil, berbeda dengan dunia Taeyong versi lima puluh tahun. Korea mulai tenggelam sejak usianya menginjak dua puluh. Tapi Ten sudah dua puluh satu—begitupula Taeyong, kawannya yang barangkali lebih memilih untuk tidur siang daripada beraktifitas itu.

"Kau datang dari masa depan—katamu?"

Setelah bicara panjang lebar, Taeyong  menyesap kopi espresso milik Ten dengan santai. Taeyong mengangguk mantap, bibirnya mengecap tidak karuan setelah merasakan betapa pahit kopi yang barusan disesapnya. Ten sudah tentu akan marah seandainya yang meminum kopinya adalah Taeyong—bukan Taeyong Tua. Ia hanya menghela napas. Matanya melirik sebentar, mengamati dari atas hingga pinggang.

Limerence - TaetenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang