Di Seberang Jalan, Sore Itu

351 55 7
                                    

Seumpama mimpi tak bertepi, berjalan jauh di sepanjang lorong-lorong waktu, melangkah mengikuti jejak namun tidak tahu di mana jejak itu akan bermuara. Hanya mampu bertanya-tanya, tapi tidak berani menaruh harap. Mungkin saja, ada sesuatu di ujung sana. Barangkali cahaya—atau justru kehampaan. Yang mana pun tidak masalah bagi Ten. Lagi pula ke mana ia akan berjalan selain mengikuti jejak yang samar-samar itu?

Ia hanya perlu berjalan. Tidak mengapa meski kehampaan yang didapatinya kelak. Tapi terkadang ia sudah tidak mengerti, sebenarnya untuk apa ia masih melangkah—tanpa teman, tanpa siapapun, ke suatu tujuan yang tak jelas begini. Apa yang hendak digapainya di depan sana. Tidak ada. Tidak tahu. Masih merupakan rahasia. Dan Ten tidak paham untuk apa ia melakukan semua itu.

(Kemudian, tiba-tiba saja, lelaki itu datang pada suatu malam bersalju, bibirnya membiru, tubuhnya menggigil, rambut dan bahu dipenuhi tumpukan salju. Lelaki itu seakan beku. Tapi kebekuan tak lantas melenyapkan senyuman khasnya—senyuman yang tidak tahu kenapa, rasa-rasanya tak pernah berubah meski sudah sekian tahun berlalu tanpa kata, tanpa sapa, tanpa buaian serta sentuhan-sentuhan.)

"Ten, kau rindu padaku?"

Tidak ada lagi lelaki paling brengsek di dunia ini selain Taeyong. Tiba-tiba datang, tiba-tiba hilang—lalu tiba-tiba kembali datang untuk kembali hilang. Begitu terus. Ten enggan menerima, andai bisa. Tapi seluruh pikiran serta hatinya tidak mampu melakukan itu. Barangkali sudah menjadi suratan takdir, perasaan terkutuk yang tidak tahu tempat tak mau lenyap betapapun ia ingin meniadakannya, perasaan yang membuat ia menjadi lelaki paling bodoh di muka bumi.

Ten menahan dada Taeyong. Taeyong selalu memiliki cara untuk melelehkan lilin kering tak bersumbu; yakni membakarnya terus-menerus.  Ten tak berdaya. Ia selalu jatuh ke dalam dekapan lelaki itu. Kakinya lemas, tubuhnya lemas. Bibirnya mendadak saja kembali basah setelah sekian lama dibiarkan kering. Ciuman lembut—menuntut. Semuanya akan sama seperti tahun-tahun yang telah berlalu; persanggamaan menyedihkan, tangisan yang sama sekali tidak mengurangi rasa pedih di dada, lantas diakhiri dengan kepergiannya. Seperti angin di malam dingin yang keluar-masuk jendela.

Mendadak, Ten teringat kata-kata lelaki jangkung yang senang minum-minum di Bar Luween. Katanya;

Apa jadinya kalau kau begini terus. Lebih baik hentikan saja. Jangan biarkan dia memenuhi ruang hidupmu sampai kau tidak memiliki tempat untuk dirimu sendiri. Jangan hidup hanya untuk menunggu lelaki brengsek semacam itu.

Kalimat yang terdengar begitu baik sekali, ia jadi berpikir ada orang lain yang peduli pada hidupnya yang serba berantakan. Ada orang yang tidak ingin ia terus melakukan ketololan yang sama; yakni memberikan kesempatan pada Taeyong jika lelaki itu kembali datang. Dan kini, Ten jadi membenci dirinya sendiri. Ia diam saja ketika Taeyong menyentuhnya.

Seprai dicengkeram kuat-kuat tatkala lelaki itu memenuhinya. Dunia berubah hening. Tapi lantas kembali bersuara—suara tangis yang tidak tahu kenapa mendadak saja ada. Seumpama nyanyian yang tak lelah disenandungkan ketika seluruh dunia berubah mengerikan dan hanya ia manusia satu-satunya yang tidak diberi kesempatan untuk menikmati sesendok kebahagiaan. Ten barangkali terkesan diam dan tak acuh pada dunia, namun sebetulnya dialah yang paling terluka. Dan luka yang tak mampu ditahan-tahan lagi itu akhirnya membuat air mata meleleh di kedua pipi dibarengi senggukan pilu.

"Ten—"

Ten tidak ingin disentuh. Ia memunggungi Taeyong. "Aku sudah punya orang lain. Lebih baik darimu. Dia takkan menghilang seperti kau yang datang dan pergi sesukamu."

"Kau berbohong."

"Aku tidak."

"Kalau begitu katakan sambil menatap mataku."

Limerence - TaetenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang