Polaroid

471 86 7
                                    

Beberapa lembar foto hasil cetak kamera polaroid berserak di atas ranjang, tersebar acak bersama selimut yang menggulung.

(Serta seseorang; lelaki dengan alis yang saling bertaut, terganggu sinar matahari pagi yang mampir lewat jendela.)

Ia terbangun tatkala menyadari rasa sakit menjalari bokongnya. Ten mengumpat. Telapak tangan menutup sebagian wajah, matanya dipaksa terpejam. Pagi ini bukan pagi biasa, tidak dengan rasa ngilu itu, serta sumpah serapah (dan, jangan lupakan sesuatu; ingatan samar mengenai persanggamaan maha intim setelah sekian tahun kebersamaan mereka). Ini pagi malapetaka. Seharusnya. Tapi tirai jendela yang disibak rapi, aroma kopi panas serta pancake menggagalkan malapetaka, pikir Ten sederhana.

Taeyong tidak pergi begitu saja setelah menganiaya bokongnya.

Ia mengenyahkan selimut (duh, berantakan sekali, ditambah sekian foto yang ikut membuat ranjang semakin terlihat kacau). Ten melangkah agak tertatih, ia belum terbiasa. Celana pendek dan kaos longgar dikenakannya. Taeyong tengah berada di dapur, memotret makanan. Entah kenapa pria itu senang memotret—bahkan foto-foto yang sengaja ditaburkan di ranjang itu merupakan ulahnya; sebagai bentuk penyatuan yang kompleks. Ten tidak paham bagian mana yang kompleks. Tidak ada kerumitan dalam hubungan keduanya, ataupun bagaimana mereka menghabiskan malam. Segalanya mengalir saja, hingga kecupan-kecupan menjadi suatu hal biasa. Barangkali yang membuat sulit adalah proses menuju penyatuan. Proses amat panjang. Atau, entah.

"Oh, kau sudah bangun rupanya."

Pipi Ten merona. Taeyong memotretnya. Hasil cetakan keluar sempurna. Pria itu mengibas-ngibasnya, lalu menarik seulas senyum simpul. Dia memang penggoda ulung. Ten sampai terperangkap dan menyerah. Taeyong memintanya untuk mendekat. Mari kita nikmati sarapan. Ten tentu saja memilih ke kamar mandi terlebih dahulu untuk menggosok gigi dan membasuh muka. Wajahnya tampak kuyu, ada kantung mata. Ia pucat sekali. Padahal sepasang matanya menyala hijau—membara, seperti baru menemukan oasis. Bahkan ia menemukan paradoks di wajahnya sendiri. Aneh.

Mereka menikmati sarapan dalam keheningan. Bagaimana cara Taeyong membuat pancake ? Ten bertanya-tanya. Mungkin pria itu tidak membuatnya, tapi meminta petugas hotel untuk membelikannya. Yang dia buat hanya secangkir kopi. Bisa jadi. Rasanya tidak buruk. Ten suka. Taeyong berkomentar rasa pancake nya agak hambar. Ten tidak paham hambar dari mana. Semua makanan selalu nikmat baginya. Kopi disesap perlahan. Panas. Ujung lidahnya serasa terbakar. Ia tak sengaja menjulurkan lidah, Taeyong sengaja memotretnya. Lagi. Terus saja begitu setiap ada momen menarik.

Taeyong tertawa, merasa senang dengan hasil bidikannya. Ten salah. Sarapan kali ini tidak dikuasai keheningan—ah, setiap bersama Taeyong, segala yang hening seakan lenyap. Selalu ada suara, gerakan-gerakan tak perlu, gelak tawa, senyum di bibir. Ten sudah lama menyadarinya. Kehidupan yang semula monoton jadi lebih berwarna—menyenangkan. Bak anak kecil, ia menantikan apa yang akan mereka lakukan sehabis ini.

Kopi menghangat. Ten menyesap nikmat. Taeyong memandanginya seraya menopang dagu. Ten tidak merasa terganggu, tidak lagi. Ia sudah kebal menghadapi pria penggoda semacam ini. Dipandangi lama, diberi senyuman. Ia kenyang dengan semua itu. Jadi, terima kasih. Ten tidak akan lagi mengomel sambil merona karena dipandangi sedemikian lama. Taeyong justru tergelak dalam tawa. Suaranya renyah. Ten tidak mengerti kenapa Taeyong gemar sekali tertawa. Tapi tidak apa-apa. Ia suka—pada suara itu; tawa yang seakan meluruhkan dedaunan, daun-daun menari di udara, daun-daun menari terbawa suara. Renyah.
Ten tanpa sengaja mengulas senyum.

Satu bidikan diambil lagi. Oh, ayolah.

"Bukankah kita seperti pasangan baru menikah." Taeyong berceletuk.

Ten nyaris batuk. "Kita memang baru menikah—baru kawin, semalam."

Taeyong tersendak. "Astaga," ucapnya.

Limerence - TaetenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang