Andai saja malam ini hujan tidak serta-merta mengguyur Seoul beserta kebarbarannya, Ten mungkin sudah menari-mabuk-menari-mabuk di kelab langganan bersama pasangannya Taeyong yang dari tadi belum saja ke luar dari kamar mandi. Masih pukul delapan dan Ten menatap ke luar dari jendela rumah yang tidak terlalu besar, menyibak gorden kemudian menggerutu memandang pemandangannya. Lampu-lampu yang setiap malamnya berkelap-kelip seperti gemintang (warnanya merah, kuning, hijau omong-omong) kini tampak kabur sebab air menabrak kaca jendela dan membuat jajaran garis meliuk turun.
Suara pintu kamar mandi yang terbuka dan kecipak air, ah, Taeyong sudah ke luar dengan celana selutut dan handuk bergantung di ubun-ubun. Ia menatap punggung Ten, seakan tahu apa yang membuat lelaki itu berdiri memandang ke luar dengan alis bertaut jengkel, Taeyong tersenyum dan berpakaian dan menuju dapur.
Ten sedikit melirik pada apa yang dilakukan Taeyong. Tapi kemudian ia mendengus tidak peduli.
"Aku ingin bermain biliar."
"Memukul bola warna-warni dengan tusuk panjang," Taeyong menyahut dari arah belakang, "Padahal di sini ada aku yang bisa memukul bola-bolamu."
Ten memutar mata, candaan mesum Taeyong belum ampuh mengatasi kejenuhan. Padahal biasanya ia akan tertawa dan balik menyahut dengan lelucon tak kalah mesum. Pantas kawan-kawannya menyebut mereka pasangan mesum tapi alotnya sampai usia kepala tiga.
"Aku sedang tidak berselera." Ten melipat tangannya.
"Berselera apa?"
"Saling lempar lelucon mesum."
"Itu ... terdengar menyeramkan."
"Hei!"
Terdengar gelak tawa Taeyong, dan suara itu kian mendekat hingga berani menyentuh daun telinga Ten. Perutnya direngkuh dari belakang, napas Taeyong meluncur dari sela leher. Bulu roma meremang dibuatnya.
"Apa kau lapar?" bisiknya. Ten merinding singkat.
"Tidak."
"Sayang sekali, aku lapar. Apa kita masih punya stok ramen?"
"Taeyong, sungguh. Aku sangat ingin pergi ke luar, bersenang-senang, berdansa, minum—"
"Apa kehadiranku saja tidak cukup membuatmu senang?" Taeyong membalik tubuh Ten, membuat manik saling bersitatap. "Lusa nanti aku ada audit satu minggu ke luar kota, artinya seminggu penuh kita tidak akan bertemu, Ten. Aku tidak akan di sini bersamamu, seatap, dan sekarang kau bersikeras ingin pergi ke luar—"
"Maksudku bukan hanya aku yang pergi, tapi kita berdua."
"Kita masih punya hari esok, sayangku."
Ten berhenti membalas. "Aku mengerti. Tapi pastikan besok harus sempurna, pokoknya besok harus meriah sebelum kau pergi audit seminggu!"
"Dikabulkan."
Suara riuh hujan semakin beringas, Ten menutup tirai jendela dan balas memeluk Taeyong. "Hangat," ujarnya.
"Apa kau ingin makan ramen? Akan kubuatkan."
Ten mengangguk. Pelukannya tiada melonggar.
"Ten, aku tidak bisa ke mana-mana kalau begini caranya."
"Aku tidak ingin melepasnya."
Taeyong tersenyum. "Baiklah. Kita tidak jadi makan ramen kalau begitu."
"Aku memang tidak lapar."
"Aku yang lapar, Ten"
"Makan saja aku kalau begitu."
Tubuh Ten diangkat dan digendong. Posisinya sudah seperti panda yang tengah bergelantungan. Langkah Taeyong berjalan menuju kamar.
"Baiklah. Selamat makan, terima kasih atas hidangannya," ucap Taeyong diikuti pintu kamar yang ditutup dengan sebelah kaki.
Meskipun rencananya untuk bersenang-senang di luar akhirnya harus batal, Ten tahu jika memadu kasih dengan Taeyong, di bawah atap yang sama, pada malam hari yang dingin, lebih membuatnya bahagia dan Ten tidak menyesali hal itu. Taeyong tahu bagaimana cara membuat Ten jatuh cinta lagi, lagi, dan lagi kepadanya tanpa harus berbuat banyak. Lelaki itu pandai meluluhkan hati lawannya. Entah magis apa yang ia kenakan. Rasanya Ten terlalu dimabuk pesonanya.
Malam itu berakhir seperti biasa. Perlakuan Taeyong membuat pinggangnya sakit dan mereka baru dapat pergi ke luar pukul sebelas siang. Ten setengah mengutuk. Lelaki itu bilang ia lapar tapi masih punya tenaga hingga tengah malam tiba. Di matanya, Ten memang sepertinya terlihat layaknya hidangan makan malam yang mewah.
Taeyong pikir, setidaknya, ia telah memberikan kesan yang bagus sebelum pergi meninggalkan kekasihnya seminggu penuh. Ah, ia sudah tidak sabar ingin menyelesaikan pekerjaannya, lalu pulang ke pelukan Ten, lalu kembali memadu kasih.
Di bawah atap yang selalu menjadi saksi bisu dari kisah yang mereka untai.