Taeyong memiliki kebiasaan menulis di papan tulis.
Setiap pukul tujuh malam, ketika Ten hendak bertandang ke kafe tempat Taeyong kini bekerja sambilan setelah berhenti di kedai teh, ia selalu mendapati kekasihnya itu tengah menulis sesuatu di papan tulis yang tersedia di samping pintu kafe. Taeyong pernah memberi tahu, Johnny—pemilik kafe—memberi izin siapapun untuk menulis di papan tulis tersebut.
Tulislah sesuatu yang bermakna, begitu ucapnya, mengulang kalimat Johnny.
Maka, dari izin itulah, Taeyong senang menulis kutipan dari beberapa buku yang pernah dibacanya. Pernah sekali, Taeyong menuliskan kutipan dari novel karya seseorang yang tersohor di Brazil; apakah sesuatu dianggap normal melulu karena diikuti oleh mayoritas ?[1]Kutipan itu menuai tanda tanya, baik di benak pengunjung maupun Ten sendiri.
"Apakah kau membicarakan dirimu sendiri?"
Taeyong menekan alat pembuat kopi hingga meluncurlah mocha macchiato pesanan Ten ke dalam gelas berkaki. Lalu Taeyong menyodorkannya, sepasang mata arang menatap lembut. "Aku membicarakan kita, Ten, aku membicarakan kau dan aku."
Percakapan berhenti sampai di situ. Ten menunggu di pojok dekat jendela kaca, memandang salju yang pelan-pelan turun.
Ada kecewa yang tiba-tiba hinggap di dada. Hari itu Ten memutuskan untuk pulang lebih dulu, tidak menunggu Taeyong selesai bekerja. Keduanya bahkan tidak saling menyapa.
.
.
Pukul tujuh malam seperti biasa, Taeyong tertangkap menuliskan sesuatu di papan tulis; I am sorry .Itu bukan kutipan. Itu ungkapan hati. Ten tahu ia dan Taeyong tidak mungkin bertengkar lebih dari satu hari. Ten memaafkan dengan mudah. Lagipula tidak ada yang benar-benar bersalah.
Ten mengambil kapur dari tangan Taeyong, ia lalu menuliskan sesuatu di bawah tulisan kekasihnya; tataplah langit dan kau akan menyadari bahwa semua orang sama .
"Kita atau mereka sama—memiliki cinta."
Taeyong tersenyum. "Aku benar-benar ingin menikahimu, Ten."Pergantian shift dilakukan pukul delapan. Taeyong dan Ten pulang bersama dengan tangan saling menggenggam, menyilang, menghangatkan setiap celah.
[1] Kutipan diambil dari novel Veronika Memutuskan Mati karya Paulo Coelho