Perjalanan menuju Budapest memakan separuh waktu hidupnya.
Atau, begitulah kira-kira yang dirasakan Ten. Ia seakan terbang begitu lama, memandangi langit biru, awan-awan, ia melayang-layang dalam khayal-mengenai secangkir kopi dan cincin emas berkilauan (yang membuat matanya terasa sakit, perih, ia mau melelehkan cincin itu). Kepalanya diisi suara petikan gitar dan nyanyian sumbang dari seorang wanita bergincu tebal; merah menyala, berkilat-kilat tiap kali bibirnya bergerak-gerak, di dalam sebuah kafe sederhana yang cuma menghidangkan sedikit varian kopi; espreso, karamel macchiato, crème brulle (wanita itu masih saja bernyanyi, sementara kopinya tersisa setengah lagi-dan pria di hadapannya memandang dalam kebisuan, dengan cincin emas terselip di jari manis, betapa bajingan).
Katanya banyak hal dalam hidup yang harus dipikirkan matang-matang. Ten tidak berusaha menampik, memang betul, segala sesuatu seharusnya dipikir matang-matang, jangan sampai meninggalkan penyesalan. Masalahnya, kalimat pria itu, yang memandangnya dalam kebisuan, seolah mengindikasikan bahwa selama ini mereka berdua telah salah mengambil keputusan-bahwa ciuman-ciuman itu serta decitan ranjang tidak lebih dari pilihan atas ketidak-matangan berpikir, yang kelak meninggalkan penyesalan. Sebelum penyesalan datang, alangkah lebih bijaksana kalau mereka berpisah saja.
Ten bahkan tidak bisa menangis (ia tidak tahu untuk apa gunanya menangisi pria bajingan itu-ah, sial, ia hanya ingin melelehkan cincin emas itu, melelehkannya kalau bisa bersama jari manis si bajingan). He's not coming home tonight ... he says that he's left forever! Suara wanita penyanyi kafe bergincu tebal tersebut terdengar semakin nyaring, terngiang-ngiang kembali dalam benaknya. Sementara pria itu kini menunduk, enggan melihat matanya. Ten memandang kopinya lagi, lalu memandang pria itu.
Kau tahu, Taeyong hyung, sepertinya aku puas kalau bisa menyiram kepalamu dengan kopiku.
Malam itu, Ten hendak menyampaikan kabar bahagia; bahwa ia mendapat beasiswa. Tapi, malam itu, pria di hadapannya lebih dulu menyampaikan kabar pahit; bahwa mereka harus berpisah. Ten menelan habis keinginannya menyiramkan kopi, sebab kopinya hanya tersisa separuh.
Tapi kopiku hanya tersisa separuh, seperti aku yang juga kini separuh. Mungkin lain waktu aku akan menamparmu dengan kenyataan-bahwa kau akan menyesal. Sementara aku tidak.
Mereka berpisah semudah musim semi berubah menjadi musim gugur; meski mereka akan terus mengulang musim-musim itu. Ia meninggalkan sepucuk surat. Dikatakannya dalam surat, bahwa ia akan pergi jauh. Jangan tanya ke mana, karena kau tentu takkan mungkin sanggup mengejar-atau kau memang enggan mengejar. Di dalam pesawat, Ten tak henti terkenang; pahit, manis, dan suara sumbang penyanyi kafe-serta kopi yang (seharusnya) pahit mendadak terasa hambar di lidah tatkala kalimat berpisah diucapkan pria itu tanpa rasa bersalah.
