Pintu dibuka perlahan tatkala seseorang mengetuk tergesa; tiga kali, lima kali. Muka lelaki itu tak tampak jelas sebab matahari tepat berada di belakang kepalanya, bersiap tenggelam dengan langit yang sudah sewarna jus jeruk yang ia teguk tadi siang—juga, telah ia siapkan khusus untuk lelaki itu. Genangan air bekas hujan membiaskan cahaya senja berkilau-kilauan. Matanya yang lesu lantas terpaku barang sedetik, sebelum mempersilakan masuk sambil sedikit menguap. Sudah mau jam enam rupanya.
"Kau pasti tertidur saat menungguku," kata laki-laki itu.
"Siapa pun pasti tertidur kalau menunggu sampai berjam-jam, hyung"
Taeyong tertawa, tak terlihat merasa bersalah. Mereka masuk ke dalam apartemen kumuh pinggiran kota Seoul, tempat tinggal sementara Taeyong selama mencari pekerjaan. Sebetulnya ia sudah dapat dan akan mulai bekerja minggu depan. Mungkin ia harus segera mencari brosur untuk mencari apartemen baru yang lebih layak huni, agar Ten tidak melulu mengomentari betapa tempat tinggalnya tidak sesuai dengan imej seorang Lee Taeyong.
Ada beragam merek ciki berhamburan di atas meja, ditambah beberapa batang cokelat. Kaset film tergeletak di samping televisi, di bawahnya terdapat buku yang ditumpuk-tumpuk. Ten duduk di sofa, mengambil sekantong ciki, membukanya, mengunyahnya. Televisi dinyalakan. Taeyong berdiri, menyaksikan dalam diam.
"Kalau kau mencari bir, aku menyimpannya di dalam lemari pendingin."
Taeyong melangkah menuju lemari pendingin, melihat ada banyak kaleng bir mengisi di setiap sudut. Tumben sekali. Mungkin karena hari ini adalah hari spesial untuk mereka berdua; hari bermalas-malasan. Taeyong juga berpikir barangkali Ten memang sengaja membeli banyak makanan—serta kaset film; siapa yang tertarik menonton film romantis?
Sayangnya, itu bukan film romantis. Ten tidak bereaksi ketika Taeyong duduk di sampingnya, membawa dua kaleng bir yang salah-satunya sudah dibuka. Satu tegukan, dua tegukan, seterusnya. Ia dapat mendengar dengan jelas suara tegukan itu, sebab Taeyong begitu dekat dengannya. Ah. Selalu begini. Ia memikirkan jus jeruk yang tersimpan di atas meja makan, meski tahu Taeyong akan selalu memilih bir.
Film diputar. Keduanya tidak tahu-menahu film apa yang sebenarnya hendak mereka tonton itu. Ten mengambil secara acak ketika berada di toko kaset. Ia tidak begitu tertarik pada film, pun Taeyong. Tapi, ini adalah hari spesial. Setidaknya sesekali menghabiskan waktu menonton film. Ya, ya, sesekali saja, biar sensasinya sama seperti pemuda-pemudi lain yang tengah dimabuk cinta, meski bukan di bioskop.
Ten menyandarkan tubuh pada sofa, lalu kepalanya bersandar di bahu Taeyong. Ia dan ciki di tangan; Taeyong dan sekaleng bir. Lampu dibiarkan mati, walau senja telah sampai batasnya. Gelap malam tak cuma menghampiri kota, tetapi juga apartemennya. Ten menyamankan diri, Taeyong mengubah posisi. Tangan lelaki itu melingkar di pinggangnya. Film bergulir, adegan berganti-ganti. Tidak ada cahaya ketertarikan dari pancaran mata keduanya. Hari spesial yang dihabiskan dengan cara biasa. Tidak buruk juga.
"Mungkin akan bagus kalau ini menjadi hari di mana malam tidak pernah berakhir," kata Taeyong, tiba-tiba saja setelah film habis diputar dalam durasi satu jam lebih. Ten masih nyaman menyandarkan kepalanya, berharap menemukan ketenangan abadi—meski tidak pernah ada yang abadi.
"Seperti cerita pendek yang pernah kubaca, tentang senja yang tidak pernah berakhir."
"Aku membaca apa yang kaubaca, Ten. The Land of Never-ending Sunset."
Ten memandang ke arah tumpukan buku. Sudah pasti kumpulan cerita pendek itu ada di sana. Tapi lampu masih padam, tidak banyak yang berhasil tertangkap mata selain keremangan hitam, putih, abu. Ini sudah waktunya lampu dinyalakan. Ia berdiri, tetapi lengan kekar Taeyong menahan pinggangnya. Ia dijatuhkan di atas sofa dengan kepala bersandar pada lengan sofa. Laki-laki itu berada di atas tubuhnya; Lee Taeyong. Memandangi lama, tersenyum setelah mereka berciuman, seperti dalam adegan klimaks film barusan tatkala pahlawan berhasil melindungi seluruh kota—berhasil pula melindungi perempuan yang dicintainya. Ciuman hangat dan malu-malu.
"Kau bau bir, hyung."
"Nah, kau bau keju."
Mereka berciuman lagi. Lebih dalam, lebih basah. Ten melenguh, meremas rambut Taeyong. Rambut laki-laki itu semakin semrawut, mencuat ke sana-sini, membuat tawanya pecah. Ia mengeluh gelap, tak bisa melihat jelas. Gelap begini lebih baik sehingga kita bisa lebih menghargai cahaya, kata Taeyong sok puitis. Terdengar menggelikan kalau Taeyong yang mengatakannya.
"The Land of Never-ending Night." Taeyong membisikinya tepat di lubang telinga, membuat ia bergidik membayangkan malam tidak pernah bergulir dan cahaya hanya berpusat pada bulan yang murung.
"Apa yang menyenangkan dari malam tanpa akhir."
Taeyong tersenyum misterius. Katanya, "Tidak ada akhir untuk kita."
"Haha."
Tawa itu terasa hambar. Ten membiarkan Taeyong mengecupi lehernya, menggerayangi dadanya, melepaskan kaosnya. Ia biarkan laki-laki itu menelanjanginya di atas sofa, pukul delapan malam tanpa lampu yang dinyalakan. Napas mereka seperti menyatu, menderu, menderu lagi. Diselingi tawa, diselingi desah pula. Bercinta untuk menjadikan malam berlangsung selamanya. Tetapi tidak pernah ada yang abadi, sama sekali. Yang abadi ialah berada di dalam pikiran; membentuk kenangan.
Pukul sepuluh dan klimaks ketiga telah sampai. Lelah. Lemas. Tangannya terkulai tak berdaya di sisi sofa. Kepalanya menoleh ke arah layar televisi yang berbunyi nging panjang, dihiasi semut-semut—seperti semut-semut berkerumun menggali gula. Apakah harus menonton film lagi, ataukah membiarkan malam berakhir dengan deru napas mereka yang lelap dimakan lelah. Taeyong bangkit, mengecup keningnya. Lampu ruangan akhirnya dinyalakan—terang benderang, membuat silau. Ten sudah terbiasa dengan gelap, kini ia harus membiasakan diri dengan cahaya. Ia enggan bangkit, meski tubuh lengket dan telanjang.
"Kau harus minum bir."
Ia meneguk bir yang disodorkan Taeyong. Rasanya seperti terbakar. Sensasi yang tidak menyenangkan. Kenapa Taeyong begitu menggilai bir sampai-sampai di setiap pertemuan mereka ia harus menyediakan setidaknya satu kaleng? Apakah karena membuat mabuk sehingga Taeyong bisa leluasa menyentuhnya tanpa rasa canggung, tanpa rasa bersalah pula? Entah.
Ten bergelung nyaman. Ujarnya, "Aku siap pergi ke negeri senja, negeri di mana senja tidak pernah berakhir, kalau itu bersamamu, Taeyong hyung.''
"Ketika kita pergi ke sana, kita tidak akan pernah bisa kembali lagi."
"Justru itu."
"Justru itu, ya."
Ten tersenyum tipis. "Tapi hari ini hari spesial, aku akan mengabadikannya menjadi malam yang tidak pernah berakhir."
Taeyong tertawa. "Segala sesuatu selalu memiliki akhir. Aku datang, aku pasti pulang."
Taeyong membicarakan soal pekerjaan. Ia akan bekerja minggu depan, mendapat tempat penugasan di pusat kota. Jauh juga. Tidak apa-apa. Tidak ada pengaruhnya, tidak ada. Ten berkomentar bahwa itu terdengar bagus. Terdengar bagus, eh. Kenapa ia merasa tidak senang dengan kalimat itu. Seperti kehampaan yang mendadak saja mendobrak masuk ke dalam dirinya; membinasakan rasa.
Ten memeluk Taeyong sepanjang malam, sepanjang film diputar ulang. Kaleng bir bertambah jumlahnya. Mereka menonton tanpa fokus pada cerita. Masing-masing akhirnya saling berbagi cerita; mengenai apa saja, salah satunya ialah negeri senja. Ketika seseorang memutuskan untuk pergi ke sana, maka mereka tidak akan pernah kembali lagi meskipun ingin. Tidak ada yang bisa terlepas. Sudah semacam kematian saja; pergi, tak pulang-pulang lagi. Ten bermimpi tentang negeri senja. Ia dan Taeyong berada di sana; abadi. Adakah negeri malam, di mana malam berlangsung selamanya?
Tetapi ia lantas terbangun dengan tergesa, melihat Taeyong siap pergi meninggalkan apartemennya di pagi buta. Tidak ada malam tanpa akhir, tidak ada. Ia hanya bisa tersenyum, melambaikan tangan, mengucapkan salam perpisahan; semoga kita bisa berjumpa kembali, entah kapan. Barangkali setelah pernikahanmu selesai digelar besok malam, atau setelah aku juga melangsungkan pernikahan, atau setelah masing-masing dari kita memiliki anak. Atau tidak berjumpa sama sekali, bahkan setelah tua dan mati dan kita menyadari bahwa memang benar tidak pernah ada yang abadi, tidak kalau bukan di negeri senja—atau negeri di mana malam tidak pernah berakhir.
Ten memikirkan kembali jus jeruk yang sudah tak layak minum di atas meja makan, yang ia persiapkan khusus untuk Taeyong, meski laki-laki itu tetap memilih sekaleng bir. Ah, rasanya seperti ditampar kenyataan.
[*] "Tujuan: Negeri Senja", Kompas, 16 Agustus 1998, Seno Gumira Ajidarma / diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Pam Allen dengan judul "Destination: The Land of Never-ending Sun