Taeyong menemukan pemuda itu pertama kali di antara rak-rak buku berlabel sains terapan, tepat ketika kemarahan di dalam dirinya nyaris menyublim lewat lengan-lengan yang hendak menghancurkan apa saja di sekitar. Jika Taeyong adalah badai, maka pemuda itu pastilah angin pendamai; yang bergerak perlahan, menyusup di antara kekacauan, lantas menetralisir tekanannya—melenyapkan badainya.
Ia mungkin kehilangan inersianya ketika, tatapan datar yang si pemuda berikan menembus jarak mereka, menghakiminya diam-diam di dalam kesunyian perpustakaan dan rerintik hujan. Seharusnya ia murka, saat lengannya yang berusaha menjangkau barisan buku ditarik paksa. Tetapi sensasi dingin yang merambat dari kulit mereka yang bersentuhan justru membuatnya lupa. Pada serat-serat bajunya yang basah ditimpa hujan di luar, pada atmosfir rumahnya yang kian menyerupai neraka, bahkan pada amarah yang kurang dari sejam lalu berhasil mengendalikannya.
"Buku ini bukan propertimu, kau tak boleh merusaknya."
Memang tidak, memang bukan; Taeyong ingin sekali menjawab demikian kalau saja otaknya yang masih memproses kejadian itu tidak membuat lidahnya kelu. Ia butuh beberapa detik untuk mengaktifkan lagi kendali pada setiap anggota tubuhnya.
"Jadi jika aku sudah memilikinya, aku boleh merusaknya?"
Mungkin pemuda itu pikir perkataannya barusan adalah lelucon paling tidak lucu yang pernah ia dengar, karena setelahnya ia melepaskan begitu saja tangan yang mencengkeram lengan Taeyong, kemudian melenggang pergi tanpa mengucapkan apa-apa lagi.
Taeyong tidak sadar, tetapi hari itu, badainya lenyap sama sekali.
🌀🌀🌀🌀🌀
Ten mendengar gemuruh kecil di sudut langit disusul suara ketuk-ketuk ketika hujan menyapa jendela perpustakaan yang menjadi tempatnya untuk sementara waktu bersemayam. Ia putuskan untuk menjauhi bingkai jendela, menggerakkan kaki di antara rak-rak yang berjejer bagai pilar, sembari memilih salah satu buku—apa saja, apa saja, agar pikirannya teralihkan dari bunyi guyuran hujan di luar.
Karena jika ia lengah barang sebentar saja, hujan akan memerangkapnya dalam nostalgia; menjebaknya kembali pada ingatan tentang tubuh kecilnya yang tak berdaya, napasnya yang dikalahkan aliran air, serta rasa sakit yang berdenyut di setiap luka yang masih terbuka. Karena kalau ia lengah, hujan selalu berhasil memutar ulang satu episode dalam hidupnya yang tak pernah berhasil ia singkirkan.
Tetapi mungkin Ten salah. Bukan hanya hujan yang mampu mengundang ingatan itu untuk kembali datang.
Ia menemukannya; mata obsidian yang dipenuhi amarah dan kebencian, di antara rak-rak buku berlabel sains terapan. Mata itu memang tidak melihat ke arahnya, tetapi Ten bisa merasakan setiap alarm pada tubuhnya menyala, seolah memberitahunya bahwa pemuda itu hendak melakukan sesuatu yang tidak seharusnya ia lakukan.
Satu peringatan Ten lontarkan ketika lengannya berhasil ia tarik dan mata mereka bersitatap dalam beberapa detik.
Jadi jika aku sudah memilikinya, aku boleh merusaknya?
Ia tidak menemukan amarah pada dirinya, atau pada kedua bola mata yang kini menatapnya. Jadi, ia putuskan untuk pergi, menjauh dan pergi, tidak ingin terlibat dengan pemuda asing itu lagi-
walau ketika di kali kedua mereka kembali berjumpa, ketika ia duduk di hadapannya sambil mengamati koran yang berada di genggaman, Ten tak mampu memerintahkan otaknya untuk membenci kehadiran pemuda itu sama sekali.
🌀🌀🌀🌀🌀
Taeyong tidak seharusnya datang (ia tahu bencana macam apa yang bisa saja ia timbulkan). Nyatanya ia tetap datang.