Attis

55 9 3
                                    

A/N : cerita ini hanya fiksi tidak ada unsur untuk menyinggung atau membuat kesalahpahaman dalam wujud apapun.

"Extinguish my eyes, I'll go on seeing you.
Seal my ears, I'll go on hearing you.
And without feet I can make my way to you,
without a mouth I can swear your name.

Break off my arms, I'll take hold of you
with my heart as with a hand.
Stop my heart, and my brain will start to beat.
And if you consume my brain with fire,
I'll feel you burn in every drop of my blood."
― Rainer Maria Rilke

Ada tumpukan pakaian di lantai. Tak pernah dicuci selama beberapa hari. Berserakan diatas lantai yang dilapisi oleh debu.

Piring-piring dan mangkuk-mangkuk kotor di dapur juga menunggu untuk dicuci, berdampingan dengan belasan kardus makanan cepat saji yang menjadi makanan pria itu akhir-akhir ini.

Kedua langannya menekan meja makan, ia hanya berdiri disitu, tak bergeming sejak beberapa menit yang lalu. Sepertinya lidahnya pun kebas, sama seperti pikirannya yang sama sekali tak ingat lagi rasa sarapannya tadi pagi.

Mungkin sebentar lagi Yuta sialan itu akan mengetuk pintu rumahnya dengan beringas, berharap kalau usaha kecilnya itu dapat memaksanya pergi ke markas besar.

Aku bisa lakukan apapun yang aku mau, brengsek.

Ia tak percaya dengan keabadian. Nada sarkatis selalu muncul begitu saja melewati kedua bibir tipisnya ketika mendengar para manusia itu dengan bodohnya memuja hal yang bahkan tak bisa mereka buktikan.

"Aku tak percaya Tuhan."

Eksistensinya hanya digunakan untuk menutupi rasa bersalah setiap individu. Selimut hangat diatas kebohongan dan kemunafikan tak terbatas.

Laki-laki di sebelahnya tertawa. Kota Seoul yang dingin tak mereka hiraukan.

"Terserah, tapi aku percaya akan adanya Tuhan."

Si rambut kelam menoleh. "Sejak kapan bajingan sepertimu punya agama, eh?"

"Aku tak punya agama. Hanya percaya ada sesuatu yang tak bisa dipikirkan dengan akal manusia yang terbatas."

Ten menyeringai, jemarinya sedari tadi tak berhenti menekan tombol-tombol bercahaya dari komputer portabel yang ada di pangkuannya. Ia tak membalas lagi jawaban dari partnernya, Taeyong, hanya mengeluarkan dengusan menyebalkan yang terdengar cukup keras.

Tangan Taeyong memutar lensa kaca kecil yang sedari tadi dia sentuh. Jemari tangannya yang lain menyentuh tubuh jenjang senapan berwarna hitam legam yang bersandar di pelukannya.

"Jangan ganggu aku lagi." Bibirnya membentuk senyum kecil, mengedipkan sebelah matanya pada Ten yang lagi-lagi mendengus.

"Target berada di lantai enam, lima puluh tujuh meter dari titik sasaran. Kecepatan angin 10 meter per sekon, jarak dengan titik sasaran 19 meter. Sudah jelas?"

Ten mengangguk. "Dengan target yang tubuhnya sebesar itu, aku pasti bisa melakukannya."

"Semoga berhasil."

Kau juga. Balas Taeyong dari dalam hati.

Semoga berhasil mengeluarkan kita dari tempat ini.

Ten mundur dari posisinya, berjalan beberapa langkah sampai berada di belakang Taeyong. Kemudian ia merunduk dan memasang penutup telinganya dengan erat.

Tiga puluh detik. Waktu yang harus ia pakai untuk menyelamatkan dirinya dan partnernya sebelum orang-orang menyadari keberadaan mereka di atas gedung ini.

Limerence - TaetenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang