Belakangan ini kau mulai banyak berpikir dalam diammu dan menyadari sesuatu; kau menyebutnya checkpoint, titik di mana kau merasa bisa menghela napas dengan sedikit lega selagi mengistirahatkan mentalmu dari kejaran waktu—yang kau sadari, interval di antara checkpoint itu merapat seiring dengan pertambahan usiamu.
Dahulu, kala kau masih menghitung dengan bantuan jemari dan gumam pelan di bibir, checkpoint-mu adalah ketika tahun berganti menjadi baru lagi. Seperti percikan kembang api yang batangnya kau genggam, dan doa-doa di gereja, dan gemerincing koin di dalam amplop mencolok; euforia itu membawamu melewati titik (yang berperan sebagai koma) dalam kehidupan (untuk beristirahat sejenak, untuk menengok ke belakang dan berkata "aku sudah melaluinya tahun ini").
Kemudian kau bertumbuh dan kehidupan tak segan membagi rasa asam pahit di dalam duniamu, checkpoint-mu muncul lebih cepat. Satu semester kau menyadari kakakmu bukan pahlawan di lapangan, satu semester setelahnya preskripsi kacamatamu bertambah, dan kau tahu akan ada hal buruk lain satu semester setelahnya, tetapi kau berhasil melaluinya, checkpoint di setiap semestermu.
Kau melihatnya dari sudut ini: dalam aturan sebuah kuis, semakin sulit kuis itu, semakin pendek pula interval waktu di antara checkpoint yang tersedia. Kau mengalaminya di dalam dirimu, di dalam hidupmu.
Satu semestermu memendek menjadi satu bulan. Satu bulanmu menjadi seminggu. Seminggumu menjadi sehari; dan kau merasakan semakin sulitnya bernapas setiap hari, semakin menyesakkannya hidup untuk keesokannya lagi.
Belakangan ini, kau mulai banyak berpikir dalam diammu dan membayangkan sesuatu; ketakutan terbesarmu—bagaimana jika checkpoint itu akan terus memendek, terus menerus memendek? Bagaimana jika kau harus berusaha begitu keras hanya agar bisa hidup sejam ke depan? Bagaimana jika bahkan setelah titik itu mencapai satuan waktu yang paling kecil, kau tetap tak bisa memenuhi checkpoint-mu?
Karena yang kau tahu, hal yang buruk hanya akan terus bertambah buruk, dan seolah menggenapkan karaktermu dengan kacamata yang bertengger itu, yang kau mengerti hanya membalas semua ini dengan sikap apati.
Kau tidak belajar saat itu.
Namun kemudian, kau tidak sadar bahwa kau mulai belajar lewat senyum selebar tiga jari dan lompatan yang hendak menyaingi tingginya matahari.
Kau belajar tentang harapan: warnanya oranye, cerah, tapi tidak menyilaukan. Caranya menyusup pada celah demi celah di dalam detikmu, menitmu, jam mu—harimu, kau tak lagi menemukan sesak ketika menarik napas dan sulit ketika menghelanya.
Ten melebarkan segmentasi hidupmu dengan sayapnya yang imajiner, dan mengajakmu terbang, bebas, bebas, lepas.
Belakangan ini, kau tidak lagi banyak berpikir, ia ada di sisimu, memastikan hatimu tidak lagi sesak karena terjerat himpitan waktu.
Ten adalah checkpoint-mu.