Taeten Cafe!AU
[i –the old saying]
Orang bijak pernah berkata, bahwa, jatuh cinta akan selalu seperti ketika seseorang mengiris tenggorokanmu, benar-benar secepat itu, dan kau tak menyadarinya karena semuanya terjadi begitu saja tanpa bisa kau cegah. Untuk Taeyong, kasusnya sedikit berbeda; ia merasakannya seperti gumpalan yang menyumbat tenggorokan sampai rasanya sulit bernapas dan berbicara; tiga puluh empat detik melawan tatapan, gumpalannya jatuh ke dasar perut dengan impak yang luar biasa besar sampai lutut dan kakinya mati rasa.
Permulaannya adalah hujan deras, dan satu pesan singkat dari Yuta yang membatalkan janji temu untuk membahas tugas kelompok salah satu mata kuliah yang membuatnya deprivasi tidur belakangan ini, ah, juga rentetan gerutuan yang tak mampu ditahan karena, karena, payung lipatnya tertinggal di atas meja makan ketika selesai sarapan –Taeyong toh tak berharap banyak saat secara acak masuk ke dalam café bergaya klasik yang menawarkan perlindungan dari guyuran hujan.
Sambutan baristanya tak ramah, tapi cukup professional, dan Taeyong membiarkan dirinya berlama-lama mengintip menu sembari mengibaskan jaketnya yang lembap dan basah berkat dua puluh meter berlari menerjang hujan menuju ke tempat ini. Ia melirik lagi pada pria barista itu, yang lengan kemejanya digulung sampai siku, terlihat sigap dan tegak dan ini mungkin hanya perasaannya saja, tetapi pandangannya jadi semakin menajam dan, dan, intimidatif, mengancam, seandainya saja Taeyong se-sensitif wanita yang sedang datang bulan. Tenggorokannya tercekat, seperti ada yang menyumbat, ia yakin sekali butuh minum detik ini juga, yang hangat, supaya bisa mencairkan gumpalan yang menyumbat, malah kalau perlu, bisa juga mencairkan kebekuan dari cara barista itu menatapnya.
Taeyong mengangkat telunjuknya, bergumam kopi hitam, tidak lupa menambahkan satu senyum formal yang tak terlalu diindahkan lawan bicaranya, apalagi senyumnya segera pudar saat ia tersadar apa yang baru saja dipesannya; astaga, ia bahkan tak bisa meminum teh tanpa gula. Taeyong tak sempat meralat, si barista sudah menyiapkan pesanannya, lagipula, lagipula, ia tak berminat menambahkan alasan si barista untuk membencinya lebih jauh lagi.
Cangkirnya mengepul panas, tapi si barista masih menatapnya dingin bahkan sehabis menyajikan pesanannya.
"Apakah ada sesuatu yang salah (dariku)?" Taeyong sejak awal bukan seorang yang pandai menutupi keresahannya, terutama ketika ia merasa tak melakukan sesuatu yang membuatnya pantas mendapatkan perlakuan ini.
Si barista menatapnya lama dari balik konter, "tak ada."
"Benarkah?"
Taeyong melihatnya meraih sesuatu dari dalam laci, sekotak tisu, dan meletakkannya tepat di sebelah cangkir kopi (yang mungkin tak akan disentuhnya, terserah, ia tak bisa minum sesuatu sepahit itu; dan jangan tanya kenapa ia tak mau meminta krimer atau gula batu), si barista segera melenggang pergi memasuki dapur setelah menambahkan jawaban yang tak ia sangka-sangka:
"lain kali tolong jangan mengotori tempat kerjaku dengan kehadiranmu."
Perut Taeyong kram dan kedua kakinya mati rasa.
[ii –repeat]
Taeyong mendengar desas desusnya dari mereka-mereka yang sudah secara langsung mengalaminya; tentang pemilik café di sebelah toko buku yang saking terobsesinya dengan kebersihan sampai tak segan-segan mencela pelanggannya sendiri. Tidak juga, Taeyong sebetulnya mendengarnya dari Yuta, Ten pemilik café sekaligus barista yang kemarin dulu telah menjatuhkan harga dirinya dengan insult luar biasa kejam. Yuta mungkin akan tertawa jika mendengar ceritanya ('lagipula sejak awal harga dirimu tak seberapa') kemudian melanjutkan pekerjaannya menyalin tugas rumah milik nya. Tapi pengalaman itu benar-benar mengganggunya, sampai-sampai ia mengabaikan logika dan kembali datang ke tempat kejadian perkara.