segelas senja
Tentang segelas senja yang kautuang bersama gula
Juga fajar yang kaupilin di sela tautan tangan berdua
Kenangan terserak di ruang kosong, aroma kemejamu
dan foto yang membingkai senyum kita
Lenyap. Jari-jariku terbakar tanpa sisa
Aku tertatih menyusun keping renjana
yang kautinggal bersama kunci semesta
"Kunci pintu. Jangan buka untuk selainku," pesanmu
Dan mata adalah lensa yang menyimpan lautan
Kadang aku ingin melempar kunci ke luar jendela
Seseorang menyepaknya, tersaruk dalam parit sembilu
Aku dicabik sendalu, diseret bentala rindu
Dilempar ombak di antara dua kubu;
Menjaga senja milikmu, tetap penuh dalam gelasku
Atau memetik fajar lain dari dahan terdekat yang terulur padaku
Ten pernah berpikir, mengapa waktu yang cepat sekali berlalu, seringkali meninggalkan banyak perubahan, seperti sebidang lahan kosong yang kini menjelma bangunan megah. Barangkali karena kita yang terlalu lambat berjalan, atau terlalu malas mengikuti arus perubahan. Mungkin itu pula yang membuatnya cemas, ketika Taeyong, kekasihnya, mengungkap keinginan untuk studi ke luar negeri.
Ten ingat, ia sedang menuang teh hitam dalam cangkir favorit Taeyong, ketika lelaki itu dengan santainya mengatakan kabar yang kelak menjungkirbalik hidupnya.
Lelaki itu membaca keresahan Ten, kemudian menghiburnya dengan seribu satu cara: bahwa hubungan jarak jauh itu sama mudah seperti penggunaan alat komunikasi: surel, telepon, chatting dan video-call.
Ten masih bersikeras, bahwa LDR tidaklah sesederhana kelihatannya. Sebab kehidupan telah mengajarkan betapa kenyataan itu seringkali berkebalikan. Ketika Ten mempertanyakan alasan Taeyong mengambil keputusan studi S2 itu, dan (secara tidak sengaja) mengatainya sebagai ambisius yang tak pernah puas, ia justru mendapat selentingan keras, "itu bukan urusanmu. Seharusnya kau mendukung keputusanku, Ten. Beginikah sikap terhadap kekasihmu?"
"Tentu saja ini urusanku, Hyung. Aku tidak setuju mengapa kau mengambil keputusan sepihak dan bukannya berunding denganku dulu?"
"Karena aku sudah tahu, kau pasti tidak akan setuju."
"Hei! Kau mengambil kesimpulan yang tidak pasti, aku bisa saja setuju asal kau beritahu alasannya."
Desakan Ten, hanya membuat dahi lelaki itu semakin berkerut dalam. Dari tatapannya yang masih enggan untuk berbagi alasan, seperti tuntutan Ten, ketika lelaki itu mencermati dari balik cangkir yang menempel mulutnya. Oh! Betapa Ten merindukan Taeyong yang dulu. Taeyong, yang akan menyibak rambutnya dengan penuh kasih, saat tahu dia sedang resah, bukan pria dingin yang sibuk dengan ambisi dan pencapaian tiada akhir.
"Lagi pula, masih banyak akademi dan perguruan tinggi berkualitas di dalam negeri. Kau tak perlu mengambil tindakan berisiko seperti itu, hyung."
"Atau, jangan-jangan … ini cuma karena gengsi karena kau bersanding denganku, agar bisa membuang rasa gengsimu, kau perlu pengakuan dunia, begitu?"
