Antarctica

261 53 5
                                    


Ketika kata pernikahan melintas di udara, beberapa orang akan mengeluarkan berbagai reaksi. Pernikahan membosankan, pernikahan membuat mereka kehilangan kebebasan, dan seribu alasan mengapa pernikahan menjadi hal yang menakutkan—walaupun sebenarnya pernikahan adalah hal yang menyenangkan, juga menjengkelkan.

Lee Taeyong tidak akan bersikap naif bahwa pernikahan membuatnya kehilangan jam malam, dan waktu untuk menikmati kehidupannya sendiri. Apalagi jika dia memutuskan untuk menikah dengan lelaki penuh komitmen yang berkuasa.

Tapi satu yang bisa dia pastikan, bahwa pernikahannya tidak pernah berjalan membosankan.

“Are you trying to kill me—or you just plainly hate your husband?” kata-kata itu terdengar berlebihan. Tentu saja. Lee Taeyong suka hal yang berlebihan. Dia berdiri di ujung carport dengan tubuh menggigil, berharap bahwa istrinya mau berbaik hati memijamkan Chanel’s coat kepadanya.

Ten Lee disisi lain, terlihat begitu menikmati penderitaan Taeyong. Dia terlihat begitu nyaman dibalik coat mahalnya, dan scarf Hermes yang melingkar melindungi leher jenjangnya. Satu tangannya menggenggam satu gelas karton dari  Starbucks yang di dapatnya dari dalam Airport—tanpa memperdulikan fakta bahwa suaminya, hampir saja mati membeku saat angin utara berhembus menerpa kemeja Hamilton-nya yang tipis.

“Well, what else is new?” dia menjawab dengan tenang. Seakan menegaskan bahwa dia memang membenci Taeyong. Ten—istri tercintanya yang brengsek. Well, Taeyong suka menyebut istrinya brengsek, karena memang Ten jenis lelaki yang seperti itu.

Ten lebih perduli dengan empat suitcase Louis Vuitton-nya yang kini tengah dimasukan kedalam bagasi belakang Limousine yang mereka sewa, dari sebuah biro perjalanan yang telah dipesan Ten secara online.

Ketika Ten tidak memberikan perhatian penuh kepadanya, membuat dia memutar otaknya dan memikirkan cara tercepat untuk mendapatkan kembali perhatian istrinya. Ten masuk ke dalam limo, tanpa memperdulikan Taeyong yang masih membeku diluar sana.

Saat mereka sudah berada didalam limo, dengan cepat Taeyong menekan tombol privacy divider,  sehingga sang supir yang nampaknya tidak bisa berbahasa internasional tidak mendengar pembicaraan mereka.

Dia tahu apa yang harus dia lakukan untuk mendampatkan perhatian istrinya kembali.

“Honey, I’m cold.” dia bersuara rendah, dan satu tangannya menyusup rendah ke dalam coat Ten. Dia memasang senyuman terindahnya, dan didalam kepalanya dia membuat sebuah hitungan—bahwa istrinya akan membalas pelukannya, lalu setelah itu dia tahu kemana semua ini akan berjalan.

Perapian, kilang wine, dan dirinya bersama Ten di atas ranjang.

Sempurna.

Tapi semuanya berjalan diluar rencananya, dia melihat istrinya menaikan satu alisnya—tanda bahwa dia tidak akan membeli semua omong kosong yang akan dilontarkan Taeyong. Dengan satu gerakan, Ten mendorong Taeyong menjauh dari tubuhnya.

“I told you to bring a jacket.” Ten menendang kaki Taeyong, agar suaminya itu menjauh dari botol wine yang tersedia disana.

Taeyong menatap istrinya dengan tidak percaya, setelah semua rencana jahat yang telah istrinya lakukan dengan membuatnya  berpikir bahwa mereka akan pergi ke sebuah negara tropis—dan membuatnya percaya bahwa kemeja tipis dari  Hamilton berserta celana khaki adalah pilihan yang tepat untuk liburan mereka kali ini. Lalu istrinya itu lebih memilih botol wine?

“Well, I didn’t know we were going to fricking Antarctica!” sahutnya dengan jengkel, membuat Ten Lee tertawa puas karena telah berhasil menipu Taeyong bahwa mereka akan berlibur ke negara tropis. Melihat Taeyong menderita adalah tujuan utamanya menikahi pria itu.

Tapi beberapa detik kemudian, Taeyong bisa merasakan Ten menggenggam tanganya dengan erat, dia mengecup wajah Taeyong yang memerah karena menahan dinginnya angin laut dari antartika.

“I’m honestly lucky to have a best friend that knows me better than anybody else and has went through hell and back with me and is still here. And that’s best friend is my husband.” Bisik Ten dengan senyuman indah, sebelum dia mencium bibir Taeyong dengan lembut—dan meninggalkan Taeyong bersama senyum kemenangannya.

Pernikahan memang tidak pernah berjalan membosankan untuk mereka.

Limerence - TaetenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang