Perlu setidaknya empat kali percobaan untuk Taeyong mendapatkan perhatian dari kekasihnya. Dia berada disebuah ruangan unit gawat darurat, dengan seorang suster yang terlihat bingung menghadapi keluhannya. Oh, pasti itu adalah hal yang buruk.
Ketika sang suster memberikan tatapan tak mengerti kearah suster lainnya, dia tahu bahwa sebentar lagi dia akan mati.
Ditambah, Ten—kekasihnya yang memiliki tahta tertinggi dalam hubungan mereka, terlihat tidak begitu senang karena harus berdiri di depan pintu unit gawat darurat dengan satu tangan membawa brosur tentang fasilitas kamar rawat inap yang disediakan di rumah sakit ini.
Pasti dia akan mati.
“Sayang, jika aku tidak bisa menemukan hari esok—aku harap kau tahu bahwa aku sangat mencintaimu, walaupun kau berlaku benar-benar brengsek kepadaku.” Taeyong membuka kata-kata perpisahannya, tanpa memperdulikan sang suster yang menahan sebuah ekspresi di wajahnya—mungkin ekspresi kesedihan, pikirnya.
Ten disisi lain, menatapnya dengan konyol. Dia mengumpat dalam suara rendah, karena Taeyong berhasil membuatnya kemari. Ten pikir ini adalah masalah hidup dan mati ketika kekasih bodohnya itu menghubunginya bahwa dia tengah berada dirumah sakit.
Atau mungkin dia tengah merencakan pembunuhan untuk Taeyong, dan membuat kematian kekasihnya itu terlihat seperti sebuah kecelakaan.
“Aku tahu seberapa besar kau mencintaiku selama ini, meskipun kau selalu menyembunyikannya dengan semua perilaku kasarmu. Aku tahu terkadang cinta, tidak harus memiliki.” Taeyong melihat sang suster membuang wajahnya kearah lain, dan menyibukan dirinya dengan kassa putih ditangannya. Sang suster pasti tengah menahan air matanya, karena mendengar kata-kata perpisahaan darinya.
Oh sungguh, kisah cintanya benar-benar bernasib malang.
“Dan jika aku pergi meninggalkanmu, janganlah kau menangis karena semua ini berakhir, tapi tersenyumlah karena semua ini terjadi.” Taeyong memejamkan matanya dengan perlahan, berusaha membuat suasana menjadi lebih dramatis dan mengharukan.
Dia tidak memperdulikan Ten yang kini menutupi wajahnya dengan kertas brosur itu. Kemudian dia membuka matanya lagi, untuk menemukan setetes darah jatuh dari satu jarinya.
“Oh my God! It’s bleeding, I’m going to die!” dia menjerit dengan keras membuat seluruh mata tertuju kepadanya, termasuk sang suster yang berusaha untuk tidak tertawa sejak pertama kali melihat Taeyong terbaring disana dengan luka yang pria itu suarakan akan membuatnya meninggalkan dunia ini.
Lalu ketika suasana berjalan semakin memilukan, Taeyong menatap kekasihnya—dengan mata sendu, sebelum dia merasakan Ten menjambak rambutnya dan berteriak tepat ditelinganya.
“IT’S ONLY A PAPER CUT, YOU’LL BE FINE!”
Dan setelah itu yang terdengar hanyalah jerit tawa dari sang suster, dan semua orang yang berada di ruangan itu. Meninggalkan teriakan Taeyong yang meminta pertolongan agar Ten berhenti menjambaknya, dan tidak membunuhnya disana.
Sungguh Lee Taeyong yang malang.