Tadi itu—tumpukan kertas laporan seumpama pilar, kunjungan audit dari cabang dinas ibu kota, rapat untuk penyelenggaraan diesnatalis, tiga-empat Mahasiswa konsultasi tugas akhir, dan rentetan nada panggilan atas nama Lee Taeyong. Baru saja Ten menutup pintu apartemen dengan kaki, ia dihadapkan kembali dengan nada panggilan khusus—nada dering tawa setan itu sudah di luar kepala bagi Ten dan berakhir memusingkan kepalanya.
Kemudian ponsel pintar itu terbang menghempas kasur dengan keadaan tanpa baterai. Ten, pusing, ditambah nada dering jelek dari Taeyong, makin tambah pusing. Ia berkaca, refleksi diri berteriak kata istirahat. Kantung mata coklat, kelopak mata menyayu, dan rambut hitam yang kusut menjadi bukti nyata. Sekarang, Ten tidak peduli apakah Taeyong tengah kesal di seberang sana atau sedang ingin terjun ke jurang.
🌀🌀🌀🌀🌀
Seluruh pakaian yang membalut tubuhnya teronggok di atas keramik karamel sementara Ten tenggelam dalam air hangat dan bak mandi. Wajahnya setengah di udara setengah di air. Napasnya membentuk gelembung-gelembung yang meletup pada permukaan. Sedikit menjadi relaksasi untuk kepala peningnya.
Seperti potongan sebuah film, kepala pening tadi menyulut api dengan menampilkan wajah Taeyong yang khawatir. Dengan pakaian bartender yang masih lengkap, tangan sibuk mengelap pantat cangkir, tetapi kedua jembatan alisnya menukik turun keheranan. Pelanggan yang duduk di bar tampak tidak nyaman dan memilih meliukkan tubuh di atas lantai dansa. Terkadang, daya khayal Ten patut di apresiasi.
"Taeyong hyung—hanya karena aku tidak menerima panggilannya dan mematikan ponsel, bukan berarti dia harus sekhawatir itu." Tubuhnya semakin tenggelam didekap air, "Berhentilah berpikiran hal yang mustahil, Ten."
Tapi ia berakhir menegap, meraih handuk merah pemberian Taeyong ("Sekiranya benda ini dapat membuatmu mengingatku ketika kau sedang mandi," ucapnya kemudian menyeringai) dan keluar dengan keadaan belum sepenuhnya kering.
🌀🌀🌀🌀🌀
Bertepatan dengan masuknya Taeyong ke dalam kamar dengan peluh, rambut kusut, dan mantel hitam terpasang abal-abal.
"Ten—oh."
Oh. Benar. Ten lupa mengunci pintu depan. Wajar jika Taeyong masuk semena-mena, sekaligus memasuki kamar, yang juga tidak dikunci, untuk memeriksa keadaan Ten di dalam.
"Hyung......" Tentu Ten kaku mendapati kehadiran Taeyong, padahal ia baru saja menggerakkan kakinya dua langkah dari keramik kamar mandi.
Taeyong mengedip, "Maaf, karena aku tiba-tiba masuk. Tapi itu salahmu karena kau mematikan ponselmu, tapi aku senang kau baik-baik saja, tapi tetap saja aku khawatir, tapi ... ya sudahlah. Aku senang melihatmu dalam keadaan begitu. Maksudku, kau baik-baik saja ... dan setengah telanjang."
"Kau mengatakan tapi empat kali." Perempatan urat di pelipis.
"Kau tidak tahu bagaimana kalang-kabutnya aku sebelum sampai ke sini."
Ten menghela napas kasar, merapatkan simpulan handuk merahnya dan duduk di tepi kasur. Ia menepuk sisi sebelah kanan. Alis kanan Taeyong naik.
"Kau ingin aku duduk di sampingmu? Dengan keadaan seperti itu? Yakin?"
Bibir berdecak, "Aku minta maaf sudah membuatmu khawatir, Hyung. Aku lelah sekali hari ini." Ten memicing, "Berhenti bersikap seperti pria mesum, Taeyong hyung."
Pundaknya mengerdik, "Aku hanya mesum padamu, tentu saja." Ia duduk di samping Ten, jaraknya hanya sekilan. "Kemarikan lenganmu."
"Mau apa?"
"Mau kugigit."
Ten merengut.
"Kupijat, sayangku."
Seraya menyerahkan lengannya, Ten berucap, "Awas kalau tiba-tiba tanganku patah. Masih banyak laporan anak-anak yang harus kuperiksa. Mereka tidak ada habisnya." Bibirnya mengerucut.
Taeyong berpejam, ibu jarinya sibuk menekan kulit lawan, "Kau harusnya lebih menikmati pekerjaanmu. Menjadi dosen sudah menjadi cita-citamu dari dulu. Sekarang sudah tercapai dan kau justru mengeluh? Jadi, pengangguran saja kalau begitu. Atau bekerja di barku sebagai gigo—"
"Ucapkan kata itu dan wajahmu itu akan kutinju."
Ia terkekeh, "Hanya bercanda." Melirik handuk yang dikenakan Ten, "Apa kau memakai itu setiap kali mandi?"
"Tidak juga. Aku punya beberapa koleksi handuk."
"Pakai saja handuk merah itu setiap hari. Kau cocok dengan warna merah. Merah itu kesukaanku, tahu."
"Hari ini kupakai mandi, besok ku jadikan alas kaki."
"Jahat!" Taeyong melepas tangannya, "Tarik kata-katamu atau aku akan menarik handuk itu."
Ten segera berdiri. Tangannya lekas mencengkeram handuk yang menutupi bagian penting. Pipinya merona, antara kesal atau malu. "Lebih baik kau keluar dan tunggu aku di ruang tengah saja!"
"Tidak mau, ah."
"Cepat sana!"
Taeyong menggeleng.
"Sana pergi!"
Taeyong menggeleng.
"Aku akan melepas handuk ini kalau kau masih di sini."
Taeyong menggeleng. "Tunggu. Tidak. Lepas saja di sini, sekarang." Ia mengangguk.
Kemudian Taeyong merasakan segalanya begitu cepat terjadi. Jarum detik hampir tidak mampu mengimbangi. Pinggangnya terasa berantakan sampai ke tulang, tendangan Ten bukan main sakitnya (bertanya-tanya apa lelaki itu pernah mengambil kelas taekwondo karena kakinya hampir sekeras batu ketika menendang pinggang nya). Sementara Taeyong terjatuh, handuk merah ikut tercecer ke lantai. Ia mendongak.
Kemudian menyeringai. Ten kembali menendang.
Menit kedua puluh, Taeyong duduk di ruang tengah dengan hidung berdarah.
.
