Katastrofa

295 32 6
                                    

Suara mesin ketik terdengar samar dalam keheningan malam.

Sudah dua minggu berlalu sejak Ten memfokuskan diri menulis. Dipecat dari pekerjaan semula sebagai wartawan, akhirnya ia memutuskan untuk menulis. Kali ini bukan berbentuk berita, tentu saja. Jari-jemari bergerak lincah, sesekali berhenti sejenak untuk menyesap kopi yang sudah dingin.

Ten mengabaikan dunia. Biarkan malam ini dia tenggelam lebih lama, lebih dalam.

Eksekusi telah dilakukan. Tidak perlu diksi indah untuk menciptakan suasana. Dia hanya butuh menuliskan peristiwa runtut yang jelas seperti biasa. Tidak perlu karakter hebat, tidak perlu plot hebat. Ten menuliskan kisah seorang pria miskin yang mengkritisi kebijakan pemerintahan. Pria miskin itu memiliki gelar sarjana. Kata-kata yang keluar dari mulutnya tajam (dan harus diakui, sedikit sombong).

Bukan. Ten bukan menuliskan pengalamannya sendiri. Dia menuliskan pengalaman fiksi yang diambil berdasarkan kebenciannya terhadap sistem pemerintah (sebab sistem itulah yang membuatnya kehilangan pekerjaan). Tidak adil memang. Hanya menuliskan kritik tajam, maka dengan cepat kau akan segera disingkirkan. Di dunia busuk semacam inilah dia hidup.

Tapi sialnya, di dunia busuk ini Ten tidak lebih dari remah. Dia bukan orang kaya, (pernah) bekerja sebagai wartawan, dan homoseksual.

Bicara soal pecinta sesama jenis, sekarang ini kaum minoritas itu tengah dilanda badai. Mereka banyak dibunuh karena disebut-sebut sebagai pembawa penyakit kutukan. Dunia semakin memanas. Ten ingin mengutuk. Namun, bagaimana caranya, dia sendiri dianggap kutukan. Hal yang membuatnya sedikit beruntung hanya satu; tidak ada yang tahu orientasi seksualnya, tidak ada—selain satu orang.

Dan orang itu kini tengah membuka pintu, menyampirkan mantel dan topi, serta membuka sepatu. Ada sebatang rokok, terselip di antara bibir. Kebetulan, Ten baru saja menyelesaikan tulisannya. Kedatangan lelaki itu membawa perasaan lega di dada. Sesak hilang entah ke mana.

"Apa yang membuatmu ingin menjadi wartawan?"

"Tidak tahu. Apakah harus ada alasan untuk setiap pilihan?"

"Seharusnya aku datang dua hari lalu," ujarnya. Partikel beracun menguar di udara. "Ada sedikit masalah."

Ten merapikan kertas kuarto yang kini dipenuhi oleh tulisannya. Ia menaruh puluhan lembar kertas itu di atas lemari. Ia lantas meregangkan tangan.

"Aku lebih senang kau datang hari ini, Taeyong."

Lelaki tersebut melangkah mendekat, rokok kembali diapit. Ten memerhatikan intens, ia mendadak tergoda. Rokok itu dicurinya, kemudian ia hisap dalam-dalam. Taeyong terlihat bergairah dipertontonkan pemandangan demikian. Ten berjalan mundur, bokong mendarat di tepi ranjang, kaki sengaja dilipat. Asap mengepul dari bibir lalu lenyap dibawa angin. Keduanya saling memandang—tatapan penuh nafsu membakar.

"Aku tahu kau datang tidak hanya sekadar minum-minum atau berdiskusi denganku." Suara Ten rendah. Ia bisa merasakan Taeyong mulai kehilangan kontrol diri. "Lagi pula, apa yang bisa kita diskusikan. Sekarang ini aku hanyalah pengangguran."

"Ten."

"Aku tidak flu—tidak, aku bahkan tidak menderita sakit apa pun. Kau tentu tahu, setiap kali melakukannya, kita selalu memakai pengaman."

"Dengar dulu—"

"Aku benci debu, mendengus bau sperma, kumpulan orang-orang bodoh yang berdansa-dansi di bar kota, bau badan dan sistem pemerintahan. Serta tentu saja, aku tidak suka penolakan."

Taeyong membuang napas.

Ten kembali menaruh rokok di sela-sela bibirnya selagi ia membuka satu per satu kancing kemeja. Taeyong meneguk ludah. Sebelum Ten menyelesaikan kancing terakhir, dia sudah didorong ke ranjang. Ada senyuman licik yang terlukis di wajahnya, senyuman itu membuat Taeyong semakin bergairah. Napasnya mulai memburu. Panas. Panas. Panas!

"Fuck me."

"Apa kau selalu begini?"

"Aku tidak suka berbasa-basi. Kalau kau ingin aku memanjakanmu, tinggal katakan saja."

Taeyong mengambil kembali rokok di bibir Ten. Kali ini giliran lelaki itu yang menyeringai. Ten menyukai pemandangan semacam ini, membuat hasratnya naik. Perbedaan usia yang tidak terpaut jauh tidak menjadi halangan, jenis kelamin pun tidak omong-omong. Siapa peduli selama itu bisa menuntaskan ereksinya.

Kedua kaki diangkat ke atas. Telapak kaki dijilat. Ten menggeliat. Sepasang iris mata Taeyong mengilat.

"Aku tidak akan memakai pengaman."

"Fuck you."

Setiap sentuhan membuatnya terbakar. Ten hilang akal, terlebih ketika Taeyong berhasil menembusnya. Keringat mengalir banyak, napas putus-putus. Taeyong mengingatkannya untuk bernapas dengan benar. Seprai dicengkeram, bibir bawah digigit. Betapa hidup itu seperti bercinta, perpaduan antara nikmat dan sakit. Ten tertawa miris.

Taeyong menangkup wajahnya. "Hari ini kau aneh."

"Jangan berhenti, sialan."

Bulan menggantung sendirian, menyaksikan dua pria yang menyatukan diri di malam sunyi. Dalam sekilas bayang, Ten teringat seseorang—seorang pria yang dulu pernah merengkuhnya begini. Menyedihkan. Padahal sudah lama berlalu. Ia menutupi kedua mata dengan punggung tangan, Taeyong justru menyingkirkannya.

"Jangan tutupi wajahmu. Jangan."

"Maafkan aku, Ten hyung. Aku mau pergi."

Kemudian, bibir diraih. Saling menyentuh. Melumat habis masa lalu.

Limerence - TaetenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang