Taeyong rasanya ingin mengasingkan diri.
Yeah. Untuk beberapa alasan keinginan itu tidak pernah kadaluarsa. Dalam pengasingan nanti ia berjanji akan mengganti identitas, wajah bahkan rambutnya. Segala hal yang membuatnya bahagia akan ia raih segila pikirannya menggebu-gebu.
Taeyong pernah lelah menjadi manusia. Jika ia melihat kucing yang kegiatannya hanya tidur dan makan; ia ingin menjadi hewan itu. Bahkan ia pernah ingin berubah menjadi ular, katanya ia bisa bebas melingkar di batang pohon tanpa ada manusia yang melihat.
Bisa dibayangkan sebosan apa hidup Taeyong?
Sekolah-rumah-sekolah-rumah.
Kalau ia seorang kakek tua, ia pasti sudah encok membayangkan betapa minim pergerakannya di dunia ini. Ia butuh udara segar—bukan berarti ia selama ini menghirup debu saja—hanya semakin hari ruang dadanya makin menyempit. Punya orang tua lengkap memang hal yang bagus; tetapi nyatanya tak sebagus itu juga. Semua kenyataan yang ia damba, tak pernah sesuai dengan ekspektasinya tentang keluarga harmonis yang lengkap.
Tidak!
Atau, jika ia menjadi pria berisik itu mungkin hidupnya akan lebih baik.
Bebas, lepas, tentram—yang terpenting tak ada dikte seorang ayah yang inginnya hasil perfect.
Tsk.
Kalau saja Taeyong bisa kabur ... ia bertanya-tanya ke mana dirinya akan pergi.
Surga? Neraka? Atau planet lain?
"Kau ini cuek sekali."
"Mungkin saja."
"Kau bisa menceritakan keluh kesahmu padaku. Aku akan mendengarkannya."
"Benarkah?"
"Kau pasti berpikir untuk kabur dari dunia ini. Benar apa kataku, kan?"
"Jangan sok tahu!"
"Rumahku berantakan."
"Itu adalah bentuk kebebasan."
"Aku akan meninggalkanmu sekarang."
Tangan Taeyong saling menjalin. Keduanya basah keringat. Rasanya dingin; udara, hatinya, relungnya. Ia baru saja diingatkan akan sosok pria berisik yang mengisi harinya dengan sifatnya yang bersahaja dan urakan.
Taeyong tertawa kering.
Beberapa hari ini baginya hanya mimpi. Bertemu Ten; hanya mimpi. Tidak akan ada lagi yang berpikiran aneh tentang dirinya, tidak akan ada yang dengan percaya diri mengatakan bahwa 'ia jatuh cinta' pada pria itu, tidak ada yang akan mengakuinya sebagai teman. Pria itu memang punya anggapan yang bertolakbelakang dengan orang yang pernah ditemuinya.
Jika orang lain akan bersikap hati-hati saat bicara padanya, maka Ten tidak.
Syukurlah, setidaknya ia sempat merasakan bagaimana punya hari yang kacau karena pria berisik itu di samping harinya yang datar.
Ini adalah kenangan.
