“As a kid, I bought candy cigarettes at the comic book shop and now, whenever I even see a comic book, I can’t help but eat a cigarette.” Taeyong mengakhiri kisah konyolnya dengan tawa semenawan mungkin. Ini bukanlah hal yang biasa dia lakukan, menarik perhatian pria dengan senyumannya.
Dia tidak perlu menarik perhatian pria atau wanita, karena Tuhan telah memberikannya wajah porselen—itu hanya ungkapan. Wajahnya memiliki garis yang sempurna dan tegas, tapi dia lebih suka menyebut wajahnya sebagai porselen. Tidak ada wanita atau pria yang menolaknya.
Tapi tidak termasuk pria di hadapannya detik ini. Pria itu memiliki rambut hitam kelam,satu tangannya memegang batang lollipop Willy Wonka. Dia tidak terlihat terhibur dengan kisah konyol darinya.
Dia mengenal Ten sekitar empat hari yang lalu, di Manhattan. Pria itu tidak tertarik sama sekali dengannya. Mendapatkan pria itu berkunjung ke apartemennya di Soho—adalah cerita yang berbeda.
Mereka bertemu disebuah acara galang dana untuk charity . Taeyong adalah seorang fundraiser yang dermawan, dia lebih suka menyebut dirinya sebagai philanthropist. Acara itu dipenuhi oleh lelang, tapi jenis lelang yang berbeda. Kali ini puluhan wanita dan pria cantik kelas atas dengan rela menjadi objek lelang untuk menjadi teman kencan selama satu hari penuh bagi siapapun yang berhasil menawar mereka dengan harga tertinggi—dimana semua dana yang terkumpul langsung disumbangkan untuk keperluan charity.
Ketika melihat pria itu berdiri di atas panggung, dia tahu bahwa dia harus mendapatkan pria itu dengan cara apapun. Dia bahkan rela mengeluarkan kepingan ribuan dollar dari kertas ceknya hanya untuk mendapatkan kesempatan berkencan dengan pria kalangan atas yang datang dari Park Avenue.
“Anyway, can I get you something for dinner? Maybe a large pizza or Chinese takeouts?”
Oh persetan dengan kompetisi didalam dirinya bahwa dia akan berhasil membawa Ten ke atas ranjangnnya malam ini. Dengan jelas dia melihat bahwa pria itu benar-benar tidak tertarik dengannya, dan dia berada disini hanya karena memenuhi kewajibannya untuk berkencan dengannya selama satu hari—dimana Ten datang enam jam lebih telat dari yang telah ditetapkan.
“I’ll have an ice water and a lettuce wedge.” Dari nada bicaranya Ten terdengar sedikit jengkel. Mungkin dia membayangkan dinner mewah di Bergdorf, selain pizza dan makanan oriental.
Berhasil membaca situasi dengan cepat, akhirnya Taeyong mengambil kunci mobil Aston Martin -nya dan bergerak membukakan pintu apartemennya untuk Ten yang dia yakin bahwa ini akan menjadi kunjungan pertama dan kunjungan terakhir dari priaitu.
Namun langkah mereka terhenti ketika mata Ten terpaku ke seekor anak anjing yang berjalan keluar dari kamar Taeyong. Mata Ten melebar dengan tidak percaya, dia lalu memberikan tatapan penuh intimidasi untuk Taeyong.
“So you have a dog?”
Oh, dia bersumpah bahwa Ruby keluar dalam waktu yang sangat tidak tepat.
“Oh I’m sorry. I don’t know if you overly—“ Perkataan Taeyong terputus ketika dia melihat Ten dengan antusias membawa Ruby ke dalam pelukannya. Dan untuk pertama kalinya Ten tersenyum ke arahnya—ralat ke arah Ruby.
“Well maybe I prefer Chinese takeouts—and your dog will joining us tonight. Anyway can I keep your dog for the rest of the night?”
Taeyong berdiri disana dengan tidak percaya, satu tangannya masih menggenggam kunci
Aston Martin-nya. Kini dia melihat Ruby, anjingnya yang sangat beruntung berada di dalam pelukan pria yang dia puja.“Sure thing did—“
Kecupan singkat di wajahnya, berhasil membuat Taeyong kehilangan keseimbangannya. Dia menatap Ten yang masih sibuk bermain dengan Ruby, sebelum sebuah senyuman terpatri di wajah porselennya.
Kini dia bisa membayangkan bahwa kencan malam ini akan berakhir dengan Ten di dalam pelukannya di atas ranjang, dan ini jelas bukanlah kencan terakhir mereka—Karena Ruby baru saja menyelamatkan kisah percintaannya dengan Ten.
“God bless you, Ruby.”
