Instingnya mengatakan untuk memejamkan mata, maka, Ten pun memejamkan mata.
Bibir bertemu bibir; dalam ciuman ringan, mula-mula, sebelum berubah semakin basah. Alisnya yang tipis itu mengerut juga, samar-samar. Seperti mencoba membayangkan hal lain—atau, atau ia sama sekali tak mampu membayangkan apa-apa. Segalanya tampak buram, bagai melihat dunia tanpa kontak lensa. Ia seakan melihat wajah itu sambil mempertanyakan pada diri sendiri; benarkah yang ia lihat merupakan wajah itu—wajah Taeyong; agak masam, sedikit cokelat, tapi tetap saja tak begitu jelas.
Ten berpikir betapa misterius ciuman kali ini. Terasa menggairahkan sekaligus membingungkan, semacam dihujani pertanyaan; Apa. Yang. Sebetulnya. Mereka. Lakukan. Kepalanya kosong, enggan berusaha keras untuk mencari jawaban. Ia sendiri tidak tahu. Tiba-tiba saja sudah begini (setelah tiga tahun tak berjumpa, mereka mengawalinya dengan percakapan penuh drama sebelum berlanjut sampai pada tahap sekarang ini; berciuman, berciuman, sesekali meraba-raba atau mencubit gemas).
"Ten."
Ten tidak bodoh. Ia paham benar makna panggilan mendesak itu; ada sekelumit nafsu yang ingin segera dituntaskan—mari beri opsional; dengan mulut atau bokong. Bibir dibekap, menahan agar erangan tidak terdengar (ia agak malu, omong-omong, serasa mendengar suara kucing yang ekornya tak sengaja terinjak). Terlebih ketika bibir lelaki itu merayap ke lehernya; mengecupi, menjilati, menggigiti. Ia sama mendesak, memanggil nama; Taeyong!
Ten merasa percakapan semacam itu semestinya ditunda dulu, karena ada hal lain yang lebih krusial daripada sekadar nama panggilan.
(Tapi, bukankah mereka juga sama saja? Bodoh dan kekanakan. Tiga tahun tak berjumpa dan masih saja membahas masa lampau.)
"Jangan tertawa." Taeyong meminta. Ten mengulas senyum. Kedua lengan meraih kepala lelaki itu—uh, oh, ia merasakannya lagi; helai-helai itu, yang tebal, lembut, dan menyenangkan untuk dijambak.
"Aku seperti mendengar alarm peringatan."
"Kebetulan. Aku juga."
Mereka tak peduli. Bibir kembali bertemu bibir, agak basah kali ini. Ten melenguh panjang tatkala merasakan tekstur kenyal lidah Taeyong. Lidah itu bergerak-gerak, meminta masuk, kemudian masuk dan bergerak-gerak lagi. Ia seketika terbayang ular dalam sangkar besar yang melingkar malas di sebatang pohon. Tubuh si ular meliuk-liuk, tak ubah lidah lelaki itu sekarang; meliuk-liuk di dalam mulutnya. Rambut hitamnya akhirnya kena jambak.
Mereka bercinta pertama kali satu bulan sebelum upacara kelulusan. Ten mengeluhkan betapa perih bokongnya. Taeyong berkelakar mungkin rasa perihnya akan hilang kalau mereka sudah terbiasa. Ia menerima penjelasan tak logis itu dan terus melakukan hal yang sama berulang-ulang, meski perih tetaplah perih. Ia hanya menjadi terbiasa merasakan perih itu. Ah, usia keemasan yang bodoh. Ten sempat berpikir; perih tidak jadi perih kalau itu Taeyong. Sekarang ini justru karena itu adalah Taeyong, maka ia merasa perih.
Ten menangkup wajah Taeyong. Napas setengah memburu dengan bibir separuh terbuka. Ia dapat melihat rona kemerahan di muka lelaki itu; percampuran nafsu melawan malu. Ia kadang tergelitik, terlebih ketika melihat dua alis nya, yang sesekali bertaut bingung.
"Sudah tiga tahun dan wajahmu tetap saja terlihat bodoh sekaligus mesum, Taeyong."
"Taeyongie kubilang. Dulu kau sudah terbiasa memanggilku begitu."
"Dulu." Ten mengulang. Bibir Taeyong melengkung ke bawah.
"Tennie."
"Ten saja."
"Tidak, tidak. Aku mau Tennie."
"Jadi, kita akan berdebat soal nama sepanjang malam tanpa peduli pada kelamin kita yang sekarang ini sedang mengerang?"
