Lipstik merah menyala terpoles sempurna di permukaan bibir Ten.
Taeyong memandang, menimang-nimang, apa lagi sekiranya yang mampu membuat kekasihnya terlihat semakin menggoda—selain lipstik, serta bando kelinci yang menghiasi kepala. Ten menggigit bibir bawah. Jangan, jangan kau gigit bibirmu, Taeyong memaksa. Nanti warna merahnya hilang. Jangan kau lakukan. Ten menurut. Lelaki itu kemudian berpose sesuai dengan arahan Taeyong.
"Tinggikan sedikit dagumu."
Ten mengangkat dagunya sedikit. Pandangan sayu ke arah kamera. Kedua tangan mencengkeram seprai. Dada membusung. Cahaya menyoroti selama sepersekian detik sebelum bunyi kamera terdengar. Foto sudah diambil. Hasilnya cukup memuaskan. Taeyong tersenyum puas.
"Sudah waktunya, Ten."
"Ya."
The Purest and The Wildest. Demikian Taeyong menamainya. Ten adalah dua perpaduan sempurna kepolosan sekaligus keliaran, kontras yang cantik. Ia melihat-lihat kembali hasil potretannya, sudah sekian puluh, namun hanya ada dua yang akan ia ambil. Kamera lantas ditaruh di atas meja. Ia ikut naik ke ranjang. Ten menunggu tak sabaran.
"Kau yakin mau membuat lipstikku berantakan?"
"Tentu, tentu, manisku. Aku bakal membuat warna merah ini terpoles ke sana-sini," kata Taeyong, jeda. Dalam jeda itu, ia menyentuh dagu kekasihnya. "Hingga ke ujung dagumu."
Ten tersenyum. Tanpa ragu, segera saja lelaki itu melingkarkan kedua tangan di lehernya, menarik mendekat hingga bibir menyatu dalam sapuan-sapuan tak terelakkan, ciuman-ciuman, hisapan serta jilatan. Taeyong menggigit bibir bawah Ten. Ten mencengkeram kuat ujung rambut Taeyong. Ciuman tak mampu dihentikan—terlalu nikmat, terlalu candu. Merah menyala yang sebelumnya terpoles rapi kini jadi berantakan, memenuhi sisi-sisi bibir Ten hingga ujung dagu dengan garis-garis acak yang sensual.
Ten tanpa sengaja mendesah.
Lihatlah betapa kau sungguh menggairahkan dalam keadaan begini, Taeyong berbisik. Bibir Taeyong merambat ke telinga, menjilati lubangnya. Ten tersentak dengan suara tertahan. Bibir itu kembali turun, tidak ke bibir, tidak pula ke pipi, tapi ke leher jenjang yang sejak awal selalu menggodanya untuk menyesap di sana—menyesap dan terus menyesap hingga meninggalkan jejak-jejak merah yang banyak, memenuhi leher sampai tulang selangka.
Sepuluh, sebelas … dua belas, tiga belas. Taeyong mulai menghitung. Dua puluh. Tanda merah itu memenuhi permukaan kulit Ten. Taeyong masih ingin menambahnya, namun tidak lagi, mengingat estetika. Napas Ten memburu. Taeyong memutuskan sudah waktunya ia kembali membidik. Kamera segera diraih. Cahaya berkali-kali menyoroti kekasihnya. Tak perlu arahan, Taeyong mengatur posisi tubuhnya sendiri senatural mungkin. Ada yang berkilat pada sepasang mata itu; obyek telah tertangkap sempurna.
"Kau adalah hidangan paling nikmat."
Semu kemerahan semakin kentara di pipi Ten. Taeyong memotretnya.
"Kau sempurna."
Bibir bawah tanpa sengaja digigit. Taeyong kembali memotretnya. Kabut dalam kepala Ten enggan pergi, justru semakin tebal dan tak mampu disingkirkan. Lelaki itu sudah mencapai batas. "Taeyong—"
"Kau akan mendapatkannya setelah ini, manisku. Seperti biasa."
Ten mendapatkannya setengah jam kemudian. Malam sudah tidak lagi bisa dikatakan sebagai malam. Jam menunjuk ke angka tiga, mata keduanya masih menyala-nyala. Keringat membasahi seprai. Bau khas persanggamaan memenuhi ruangan kamar. Taeyong mengusap pipi Ten, memandangi, sebelum kemudian melahapnya; dari pucuk hidung hingga ujung bibir, dari cuping telinga hingga buah adam.
"Kau yakin mau memamerkan foto-fotoku?"
"Ya, tanpa keraguan."
Bibir delima kembali dikecup.
"Kenapa?"
"Karena kau indah. Dunia harus tahu itu. Dan bahwa keindahanmu hanya milikku, Ten, hanya milikku saja."
"Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi pada waktu dan takdir."
Taeyong mendekap Ten. "Kau mau meninggalkanku?"
"Waktu yang bakal meninggalkanmu."
Taeyong membayangkan Ten bersanggama dan melakukan hal-hal kotor bersama pria lain, menikmati kegiatan rutin yang menyesatkan. Lalu pria lain itu tersenyum sinis ke arahnya, seolah berkata: keindahan Ten tidak cuma milikmu sekarang ini. Taeyong merasakan sesuatu yang panas memenuhi dadanya. Ia, tanpa keraguan, pasti akan menghabisi pria asing itu.
"Aku akan membunuh siapapun yang mengambilmu dariku, Ten."
"Bahkan jika itu Tuhan?"
"Bahkan jika itu Tuhan."
"Kau sialan."
"Kau tidak suka?"
"Apa?"
"Aku memamerkan foto-fotomu."
Ten berpikir. "Aku suka. Kau melakukannya dengan penuh cinta. Aku tahu suatu hari itu akan datang; hari ketika dunia mengakui kemampuanmu, hari ketika dunia mengambilmu dariku."
"Tidak akan. Bahkan jika aku harus pergi berkeliling mencari keindahan lain, aku tetap mau membawamu."
Ten mendorong Taeyong ke samping tempat tidur. Lelaki itu lalu mendudukinya, mengambil alih tempatnya sebagai dominan. "Sudah kubilang, Hyung, kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi pada waktu dan takdir."
Taeyong tidak senang mendengar kalimat itu. "Tapi aku tetap mau membawamu. Peduli setan dengan dunia, aku sudah menemukan obyek paling indah di muka bumi."
Ten tertawa kecut. "Kau penggoda ulung."
"Aku hanya mengatakan kebenaran atas dirimu, manisku."
"Berhenti memanggilku begitu."
"Aku tidak mau."
"Kapan kau berhenti jadi sialan."
Taeyong tersenyum. Kepala kekasihnya ditarik ke bawah, mempertemukan kembali dua bibir yang seakan tak pernah lelah saling berpagutan.
🌀🌀🌀🌀🌀
The Purest and The Wildest. Pameran fotografi dengan tema tersebut membuat nama Taeyong dikenal di seantero Korea. terdengar hingga ke negara-negara adidaya. Tidak hanya Ten, Taeyong mengambil potret apa saja yang menurutnya merupakan definisi paling tepat untuk menggambarkan kemurnian sekaligus keliaran; hewan-hewan, kota besar, tumpukan salju, gersangnya Sahara, di suatu tempat yang jauh dari kampung halaman, bersama Ten, meninggalkan jejak-jejak kenangan, entah di mana, entah dengan siapa, entah apa.
Tapi tetap saja, potret setengah telanjang Ten sebelum dan sesudah liar merupakan potret yang membesarkan namanya. Di usianya yang ke-27, Taeyong mulai mengelilingi dataran dunia, berpindah-pindah, mencari obyek, mencari kepuasan, mencari-cari keindahan lain yang bakal ditangkap kameranya. Bersama Ten dan Ten dengan senang hati mengikuti ke manapun Taeyong pergi.
