Nightmare

501 96 10
                                    

“Taeyong hyung!”

Lelaki yang merasa namanya disebut itu menoleh, mendapati seorang lelaki tengah menarik-narik lengan jaket hitamnya. Siapa lagi kalau bukan kekasihnya.

“Ke sana, ya?”

“Ten, kita sudah mengunjungi sepuluh toko dan berbelanja di empat toko. Kau masih mau menambah daftar menjadi sebelas?” Mata Taeyong terbelalak.

Ia menunjukkan empat paper bag yang bertuliskan empat nama toko yang berbeda—mulai dari pakaian casual, tas, celana denim, dan sepatu.

“Hyung~” Ten mengedip-ngedipkan matanya, mengeluarkan aegyo andalannya.

“Terserah.” Sahut Taeyong pasrah.

Ten tersenyum lebar, lalu mengecup bibir Taeyong sekilas. Kemudian lelaki itu kembali menarik lengan Taeyong menuju toko yang ia inginkan.

Dan sekarang, di sinilah sekarang Lee Taeyong. Duduk di kursi yang disediakan butik tempat Ten berkeliling-keliling entah berapa kali. Taeyong sibuk memainkan telepon genggamnya, merusuhi group chat yang berisi teman-teman se-gengnya, merutuki pacarnya sendiri dari belakang.

Tiga mimpi buruk bagi seorang Lee Taeyong. Pertama; tidak merasa tampan. Kedua; kehabisan makanan. Dan ketiga; disuruh menemani Ten belanja. Bukan apa-apa, kekasih hatinya satu ini memang seorang lelaki  baik hati, cerdas, ramah, manis, menawan… namun jika soal belanja, Taeyong rasanya ingin cuti sebentar menjadi pacarnya.

Ten jika berbelanja adalah zombie, monster, dan mimpi buruk. Lelaki itu akan mengitari seisi mal. Terkadang hanya melihat-lihat selama setengah jam dan tidak membeli apapun, atau membeli sesuatu tapi selama hampir satu setengah jam per-toko. Lelaki itu akan mengamati seluruh jenis produk, mencari mana yang lebih bagus, mana yang lebih murah, mana yang lagi diskon, mana yang terlihat lucu, dan sebagainya. Ia akan bolak-balik kamar pas untuk melihat apakah ia benar-benar pantas memakai baju itu, atau mondar-mandir toko demi meyakinkan bahwa sepatu yang ia coba tidak terlalu kebesaran maupun kekecilan di kakinya.
Lalu Taeyong akan teronggok di pojok toko, terduduk di kursi kosong seperti makhluk tak berguna. Sebenarnya berguna, sih. Sebagai supir. Pembawa barang belanjaan. Penggesek kartu kredit. Dan penunggu. Bukan, bukan penunggu sejenis jin atau setan.

Taeyong mendongakkan kepalanya, mengalihkan perhatian dari layar telepon genggam. Ia melirik ke arah Ten yang sedang memilah-milah pakaian yang digantung di hanger . Mengangkat satu baju, melihat-lihatnya, mengangkat baju lain, membandingkan keduanya, mengembalikan keduanya, mengambil baju yang lain, begitu terus.

Terkadang Taeyong bingung dengan kekasihnya, Ten adalah seorang lelaki tetapi untuk urusan belanja ia sama rata dengan perempuan.

“Taeyong hyung .”

Taeyong masih berkeluh kesah dalam otaknya, hingga sosok kekasihnya muncul di depannya sambil memegang dua setelan kemeja.

“Ya?”

“Lebih bagus yang mana? Yang merah… atau yang hitam?”
Taeyong mengangkat sebelah alisnya—berpikir.

“Hitam.” Telunjuk kanannnya menunjuk baju yang ada di tangan kanan Ten.
Ten ikut-ikutan mengamati setelan kemeja yang ditunjuk pacarnya. Kemudian wajahnya berkerut.

“Aku terlihat gendut memakai ini! Kau ingin mengejekku, ya?” Tanya Ten dengan nada mengintrogasi.

Teayong membelalakkan matanya.
Apa-apaan? Ten memiliki tubuh yang ideal, kaki nan jenjang… sempurna. Dan barusan dia bilang apa? Terlihat gendut?

Ten mengalihkan perhatian ke kemeja berwarna merah di tangan kirinya. Ia mengamati baju itu dengan teliti.

“Hm… yang ini bagus juga. Kemeja milikku kebanyakan berwarna monokrom. Belum ada yang berwarna merah. Ini aja, ya?”

Taeyong menghela nafas.
Kalau dia ujung-ujungnya menggunakan pendapat sendiri, kenapa harus meminta pendapatnya?

“Ya, ya… baiklah jika kau memilih merah. Sekarang cepat ke kasir, bayar belanjaanmu, dan pulang ke rumah. Aku ingin tidur dan menonton HBO Hits.” Gumam Taeyong malas.

Ten tak bergeming. Ia masih menatap kemeja merah tersebut.

“Ah… tapi ini warnanya terlalu mencolok! Nanti aku menjadi pusat perhatian di pesta! Lagian… apa warna merah tidak terlalu terkesan menggoda?”

“Kau kan memang sudah menggoda?” Taeyong mengangkat sebelah alisnya.

Ten menendang tulang kering Taeyong dengan keras.

“Aw.” Ringis Taeyong.

Ten menatap Taeyong sadis, kemudian mempertimbangkan kembali antara kemeja merah atau hitam. Taeyong harus menunggu lagi hingga kira-kira sepuluh menit, dan seorang SPG datang menghampiri wajah bingung Ten dan wajah malas Taeyong.

“Ada yang bisa dibantu?”

“Kira-kira lebih bagus yang mana, ya?” Ten menunjukkan dua setelan kemeja tersebut.

Taeyong menekuk kepalanya, suntuk.
Nona SPG tersebut menjentikkan jarinya, kemudian mengambil satu setelan kemeja dari balik baju-baju lainnya.

“Bagaimana kalau ini? Warna abu-abu tua adalah warna baru koleksi kami, dan menjadi top sale bulan ini!” Seru Nona SPG itu dengan nada berpromosi.

Sarang mengamati kemeja tersebut, kemudian matanya berbinar-binar. Ia tersenyum lebar sambil menunjuk kemeja tersebut dengan bersemangat, kemudian menepuk-nepuk pundak kekasih hatinya.

“Itu. Itu. Aku mau yang itu.”
Taeyong mendongakkan kepalanya tak bersemangat.

Astaga, hitam atau merah, yang dipilih malah abu-abu.
Rutuk Taeyong untuk yang entah keberapa-ribu kalinya hari ini.

Limerence - TaetenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang