“There was a time when every day, every breath, and every thing was a small unhappiness.”
Taeyong's side
Beberapa orang terkadang melupakan hal yang membuat mereka merasa bahagia. Dulu, dulu sekali—aku pernah bermimpi bahwa menjadi orang yang memiliki harta melimpah adalah kebahagiaan sebenarnya. Hingga saat ini masih banyak diantara mereka yang merasa bahwa uang bisa membeli segalanya.
Tentu saja.
Aku bahkan tidak akan bersifat munafik dan sok suci. Aku bukan orang-orang imaginatif yang menghibur diri mereka sendiri bahwa uang bukanlah bagian dari hidup yang bisa membeli kebahagiaan.
Tapi seiring berjalannya waktu, kita menemukan bahwa uang bukanlah satu-satunya hal yang bisa membuat kita bahagia. Kita menemukan bahwa terbangun di hari minggu membuat kita bahagia, meminum limun segar di satu hari saat musim panas membuat kita bahagia, lalu melihat orang yang kita cintai tertawa lepas membuat kita bahagia.
Ketika kau berhenti mengejar sesuatu—dunia ini terasa lebih menyenangkan untuk dijalani. Aku yang dulu, adalah orang ambisius, mengejar apa yang aku inginkan dan melupakan hal yang membuatku bahagia.
Sekarang tidak lagi. Realitas dan ekspetasiku sudah berjalan beriringan.“Aku senang kau berada disini, karena kau selalu tahu apa yang aku inginkan.” Ten mengambil gelas wine yang sejak tadi bertenger di tangan kiriku, pandangannya tidak tertarik.
“Bukankah aku memang benar-benar tercipta untukmu.” Menjadi seorang pria yang bermulut manis memang menjadi sebuah keahlianku. Kini lelaki sempurna itu menatapku dengan tertarik dari balik tuxedo nya yang indah.
“Kau memang yang terbaik. Aku tidak mengerti mengapa aku tidak mengenalmu sejak dulu.” Ten adalah Lelaki kelas atas yang besar di 704 Park Avenue. Jadi ketika Lelaki Upper East Side itu sedikit memujiku, aku cukup tersanjung.
“Besok kita akan ke Savile Row , kau harus mencoba beberapa tuxedo untuk upacara pernikahan. Beri aku waktu lima menit untuk melepaskan tuxedo ini, setelah itu aku berjanji aku tidak akan membuatmu menunggu.” Wajahnya sedikit memohon, dia tahu seberapa bencinya diriku berlama-lama dalam sebuah toko mewah hanya untuk sepasang kemeja dan jas.
“Jadi maksudmu, aku harus bertahan satu hari lagi dan membiarkanmu memperlakukanmu seperti bonekamu?”
Dia tidak menjawab, dia hanya tersenyum dan mengecup wajahku dengan singkat, sebelum dia menhilang dibalik tirai besar di butik mewah ini. Aku tidak bereaksi untuk beberapa saat aku hanya tersenyum, seperti orang gila.Aku memang selalu seperti orang gila ketika bersamanya, dan sialnya—kejadian kecil seperti tadi selalu membuatku berhasil membuatku bahagia.
“Sir, semua yang dibutuhkan Tuan Ten telah kami siapkan. Kau hanya perlu menandatangani semuanya disini.” Seorang pramuniaga dengan suara yang sangat sopan, mengulurkan sebuah kertas kepadaku.
“Aku berharap anda dan Tuan Ten menjadi pasangan yang luar biasa. Tuan Ten sangat beruntung memiliki calon suami seperti anda, Sir.''
Kata-kata itu terdengar normal. Aku telah mendengarnya ribuan kali, aku bahkan tidak terkejut. Aku memulaskan senyumanku kepada pramuniaga yang sejak tadi mendedikasikan waktunya untuk melayani apa yang diinginkan Ten selama lima jam terakhir.
Dia juga yang bertugas mengganti gelas wine miliku yang sudah kosong, dan berlari ke kilang wine sebanyak lima kali ketika Ten menolak setiap botol wine yang ditawarkannya.“Honey?” Suara Ten menggema, membuat mataku tertuju pada derit pintu kaca yang terbuka disana. Kertas yang sejak tadi aku pegang, perlahan mulai kulepaskan tanpa memperdulikan tatapan pramuniaga yang sedikit bingung.
Jung Jaehyun berdiri disana, dengan senyumannya saat Ten berlari ke dalam pelukannya.
Aku yang dulu mungkin tidak akan pernah bisa menerima semua ini. Aku yang dulu mungkin akan melakukan apapun untuk membuat Ten berada dalam pelukanku. Dan aku yang dulu tidak akan mungkin bisa menatap sahabatku sendiri memeluk lelaki yang sangat aku cintai.
Tapi aku tersadar bahwa semua itu telah berlalu. Bahwa ada beberapa hal yang tidak bisa kita ubah, seberapapun kita menginginkannya. Terkadang semuanya berkerja seperti yang telah kita harapkan, tapi beberapa diantaranya tidak. Itulah kehidupan.Pramuniaga itu masih berdiri disampingku, memposisikan dirinya dengan bingung.
“Actually, you know what? I’m not. I’m not his soon to be husband. I’m just a guy who will do anything to make him smile, because—“ aku menghentikan kata-kataku, iris mataku menemukan Jaehyun dan Ten yang tengah tertawa bahagia.
“There was a time when every day, every breath, and every thing was a small unhappiness. But one day I woke up happy again—and It’s all because I met him. And for me that’s enough.” Aku mengakhiri kata-kataku dengan sebuah senyuman. Mengakhiri sebuah kisah yang bahkan tidak pernah dimulai.
Karena bagiku melihat orang yang kita cintai menemukan kebahagiannya—adalah hal yang membuatku bahagia.
Dan Ten Lee berada di dalamnya.
