Di matanya, Taeyong melihat warna darah.
Insting menyuruhnya menyingkir dari sana, tapi hujan keparat turun dengan deras dan Taeyong tidak punya pilihan selain menumpang berteduh di kastil suram itu. Biasanya ia tidak gampang berprasangka, apalagi ketika malam sudah merayap dan ia yang butuh; mungkin karena penampilan orang itu yang serba hitam, kuno dan modern di saat yang bersamaan, ia jadi berpikir yang tidak-tidak ketika melihat taring kecil menyembul di balik senyumannya.
"Masuklah."
Lebih seperti perintah ketimbang ajakan. Taeyong menggeser tungkainya maju sebagai tanggapan.
Lampu minyak di tangannya tidak begitu membantu mengalahkan dingin dan gelap di tempat itu, dan cahayanya sama sekali tidak membantu Taeyong untuk bisa menerjemahkan ekspresi di wajah tuan rumah yang malam ini berbaik hati padanya. Hanya saja ketika mereka sampai di sebuah pintu kayu tebal yang kemudian terbuka lebar, Taeyong menemukan hal lain pada sepasang matanya. Alih-alih jawaban, ia lebih membutuhkan pertanyaan.
"Terima kasih. Maaf merepotkan."
"Tidak masalah."
"Aku Lee Taeyong."
Ia menatap pada Taeyong, sopan sekaligus enggan. Taeyong merasa reaksi itu tidak pada tempatnya, (entahlah kenapa, memangnya dia siapa? Hal itu bukan sesuatu yang perlu dipikirkan untuk dua orang yang baru kali ini berjumpa.)
"Namaku Ten," gumamnya, seperti menyebutkan sebuah rahasia. "Ten Lee."
Di matanya, kali ini, Taeyong menemukan hampa.
🌀🌀🌀🌀🌀
Di matanya, Ten tidak melihat refleksinya sendiri.
Di mata manusia lain juga tidak, dan fakta ini tak sekali pun menggangu pikirannya terkecuali sekarang.
Terkecuali (terutama) sekarang.
Di hari ketiga hujan masih turun dengan deras, seperti mencemooh kecemasan yang terselip di dalam hatinya. Tidak mudah menyangkal dorongan insting, ia sudah melakukannya beberapa ratus tahun ini dengan mengasingkan diri; tapi kalau situasinya seperti ini, ia tidak yakin ia sanggup lagi.
Mungkin untuk kali ini tidak apa, siapa yang tahu memang takdir manusia itu untuk menghabiskan sisa hidupnya di sini? Ia toh terlihat seperti seseorang yang hidup sebatangkara, takkan ada yang mengkhawatirkannya. Dan sedikit kepercayaan merasuki dirinya bahwa hanya dengan rayuan kecil, ia bisa memiliki segala hal tentang manusia itu-
-darahnya, tulangnya, jiwanya, cint-
Ten nyaris tersedak teh yang ia minum. Di ujung meja, di seberang, manusia itu mengalihkan perhatian dari piring sarapannya; alisnya terangkat sedikit mungkin ingin berkomentar 'kau oke?'
Tidak. Sama sekali. Ia tidak berusaha menjawabnya.
🌀🌀🌀🌀🌀
Sudah hampir seminggu Taeyong berada di sana. Bagian mengerikannya, Taeyong tidak sadar ia sudah tinggal nyaris seminggu di sana. Hujan belum menyerah, dan ia terpaksa menanti lebih lama lagi. Ia sejujurnya tidak tahu dengan pasti apakah hujan juga turun di malam hari, tapi membayangkan ia harus pergi dari tempat ini malam-malam juga tidak membuat pikirannya tenang.
Ia bermimpi tentang dongeng di masa kanak-kanaknya: kastil tua di tengah hutan yang sepi, makhluk immortal, dan darah, dan taring; ia gagal tertidur lagi malam ini. Taeyong menggenggam erat kalung di lehernya ketika menyelinap dari kamar. Ia butuh udara segar. Yang sangat banyak.
Tetapi ketika ia menaiki undakan tangga menuju lantai yang lebih tinggi (seseorang pernah berkata udara yang lebih bersih selalu berada di atas, ia tidak begitu mengingat siapa yang mengatakannya), ia menemukan cahaya yang lebih redup dari penerangan bulan, segelas cairan merah (itu anggur, itu hanya anggur, lihat botol di sisi gelasnya), dan Ten yang menghidupkan latar itu semua. Tangannya tidak jadi meraih gelas saat menyadari kehadiran Taeyong.
