Left Behind

610 118 6
                                    

Taeyong hyung, ini Ten. Ya, Ten yang itu. Uhm …. aku tahu ini agak sulit, tapi bolehkah aku mampir ke tempatmu? Ada barangku yang tertinggal.

Ten's side

Mungkin tindakanku ini–yang akan terealisasikan dalam beberapa menit–akan menuai gelar orang paling tolol. Bahwa aku tahu ada masalah yang menungguiku di depan sana, dan dengan kesadaran penuh sepasang kakiku bergesekan dengan permukaan tanah untuk menemui permasalahan itu. Ini sinting, tapi anggaplah sinting adalah nama tengahku. Lagipula aku tidak bisa menyalahkan Taeyong dan fakta kalau kami berpisah di waktu yang oh-sangat-tidak-tepat.

“Bisa-bisanya kamu meninggalkan proyek kelompok kita di tempatnya!” bentak Doyoung marah. Ya, ya, aku tahu reaksinya adalah yang ternormal. Tapi serius, bagaimana aku tahu kalau malamnya aku akan putus dengan Taeyong ?

“Lalu kamu mau aku melakukan apa? Menelpon mantan pacar yang kuputuskan semalam dan merengek minta kunci apartemennya?” balasku enggan.

Rasanya nyaris seperti menjejalkan kembali permen karet yang kubuang di detik sebelumnya. Ditambah gengsiku yang mencapai horizon, kurasa argumen ini tak akan menemui akhir. Ngeri membayangkan bertemu kembali dengan Taeyong setelah apa yang kukatakan padanya semalam.

“Urusi urusanmu sendiri, hyung, karena itulah yang akan aku lakukan. Selamat tinggal.”

Daripada reaksi Taeyong, aku lebih mengkhawatirkan apakah aku sanggup menanggung malu.

“Ya, lakukan itu,” kata Doyoung. Aku menaikkan sebelah alis. Apa dia bilang tadi? “Merengeklah dan minta kunci apartemennya.”

Sialan.

“Atau aku akan mengadukanmu pada Mrs. Moore,” ancamnya.

“Kau bercanda.”

“Kau tahu aku tidak.” Doyoung memang temanku, well meski terakhir kali kuperiksa tidak begitu. Tapi dia selalu serius dengan perkataannya, dan aku benar-benar ingin membunuhnya sekarang.

“Jadi?” ia memastikan.

Oke, aku kalah. Lagipula dapat nilai F di kelas Mrs . Moore adalah tindakan bodoh lain setelah bunuh dirinya Juliet.

Aku mengeluarkan ponsel, mengetikkan beberapa digit nomor lalu menunggu. Dia menjawab pada dering pertama. Selalu begitu.

“Hai, Sayang. Apa ada yang salah?”
Baritonnya ceria seperti biasa, namun menyelipkan nada khawatir di celah-celah kosongnya. Aku diam, panggilannya membuatku tidak nyaman.

''Taeyong hyung, ini Ten.”
Semua orang tahu itu, idiot! Salak Doyoung lewat pandangan.

Dia mendesah sejemang. “Ten yang memutuskanku semalam.” Taeyong sudah ingat.

“Ya, Ten yang itu.” Jeda sejenak. “ Uhm …. aku tahu ini agak sulit, tapi bolehkah aku mampir ke tempatmu? Ada barangku yang tertinggal.”

Doyoung melotot di hadapanku. Oh, dia bereaksi berlebihan untuk ukuran seseorang yang memaksaku melakukan ini. Aku ragu Taeyong akan mengatakan ya, dan Doyoung akan menyelipkannya di setiap humornya yang menyebalkan setidaknya selama seminggu. Soal penolakan-mantan-pacar.

“Ya, tentu. Kapan kau datang?”
Entah aku harus merasa berterimakasih atau tidak. “ Uhm , sekarang? Kau di apartemen?”

Limerence - TaetenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang