Slow And Passionate

350 68 3
                                    

Ten tidak mengerti kenapa malam itu Taeyong mencium bibirnya.

Ketika Seoul Training Camp sedang berlangsung, tatkala gimnasium sudah ditinggalkan orang-orang yang berlatih—Johnny… di mana Johnny? Lelaki nyentrik itu biasanya tidak pernah pergi sebelum ia pergi. Tapi Johnny tidak ada. Cuma ada Taeyong. Dan lelaki yang bakal menjadi tim lawannya dalam turnamen musim panas itu mencium bibirnya tanpa aba-aba, mendadak saja, seumpama bintang jatuh dan tak ada satu manusia pun yang menyadarinya.

Ten terkesiap. Dada Taeyong segera didorong menjauh. Lelaki itu memasang wajah terluka. Kenapa … kenapa seolah ia yang berbuat salah? Ten menghapus jejak bibir Taeyong di bibirnya, ia menghapusnya dengan punggung tangan. Namun, rasa kenyal nan manis itu tetap saja menempel, enggan lenyap meski ia telah berulangkali menggosoknya.

"Ten—"

Ten berlari meninggalkan ruang gimnasium, meninggalkan Taeyong. Barangkali waktu itu egonya masih tinggi, ia enggan mengakui ada sesuatu yang berdesir lembut di dadanya—entah apa, ia ragu untuk meyakini. Hanya ada satu perintah yang diinginkan otaknya; menjauhi Taeyong. Ia tidak ingin hal yang sama kembali terulang. Ia tidak ingin keraguan itu memenuhi dirinya sekali lagi.

Tapi bibir Taeyong seakan enggan lenyap dari bibirnya. Bahkan setelah sekian tahun berlalu, sekian tahun yang panjang. Dan Ten masih saja dihantui bayang-bayang mengenai wajah itu; ekspresi muram Taeyong ketika ia mendorongnya. Tak peduli meski sosok Taeyong kini berbeda begitu jauh—tidak lagi jenaka, tidak lagi menggodanya, tidak lagi … tidak lagi menciumnya.

Sudah delapan tahun semua berlalu. Ten merasa egonya mencekik erat, terlebih saat Taeyong kembali hadir dalam kehidupannya sebagai orang yang sama sekali lain.

🌀🌀🌀🌀🌀

Taeyong merasa yakin, waktu itu, ketika ia memberanikan diri mencium Ten, ia akan mendapatkan sesuatu yang manis.

Tapi tampaknya ia terlalu berangan-muluk. Semula, ia berpikir senyuman itu, keramahan yang ganjil itu, sentuhan-sentuhan samar saat berlatih tanding itu, adalah tanda bahwa Ten juga menyimpan rasa. Ia sungguh naif karena memercayai semuanya—angan-angan, khayalan yang ternyata memang benar-benar khayalan. Ten tidak mungkin menyukainya dengan cara seperti itu (kalaupun demikian, sudah tentu, lelaki yang bakal disukai Ten bukanlah dirinya melainkan Johnny). Taeyong enggan mengakui. Ia tetap percaya bahwa Ten memang menyukainya.

Namun, dorongan kuat serta tatapan mata Ten yang seakan jijik padanya, meruntuhkan rasa percaya diri Taeyong. Ia seharusnya sudah tahu. Ia hanya ingin menghibur diri (salahnya karena sudah memulai sepihak; ciuman itu). Ia cuma bisa diam dan merenung saat Ten meninggalkannya seorang diri di ruangan gimnasium.

Delapan tahun semuanya telah berlalu. Taeyong tidak lagi ingat luka itu—sesekali, bayangan mengenai wajah Ten mampir memenuhi mimpi, tidak sesering dulu. Namun, kini ia kembali dipertemukan dengan Ten dalam tanda tanya takdir yang kejam. Pada akhirnya luka lama lagi-lagi terbuka. Taeyong merasa tahun-tahun yang sudah terlewati terasa sia-sia; Ten tetaplah Ten, berbeda atau sama, lelaki itu tetap duduk dan berdiam diri di dalam hatinya, menunggu bicara, menunggu bertindak, menunggu untuk menorehkan luka lain.

"Taeyong hyung—"

Ia tidak mengira klien pertamanya adalah Ten, seseorang yang begitu tidak ingin ditemuinya, seumur hidup kalau perlu. Taeyong menghela napas, mencoba menetralkan pikiran. Aku tidak bisa terus begini, pikirnya. Setelah semua ini selesai, maka selesai pula pertemuannya dengan Ten. Taeyong mencoba meyakini diri sendiri. Ia harus menghadapinya, suka atau tidak suka (mungkin demikian juga yang dirasakan Ten, suka atau tidak suka harus berurusan dengannya).

Taeyong membetulkan letak dasi. Entah kenapa terasa sedikit mencekik. "Jadi, proyek pembangunan minimarket di kawasan pusat kota sudah tidak memungkinkan lagi, kalau aku boleh jujur. Kenapa tidak mencoba membangun di pedesaan?" ia menjabarkan keuntungan dan manfaat finansial—entah dari sudut pandang si penanam modal maupun orang-orang di pedesaan. Taeyong tidak memberi jeda. Ia terus menjelaskan hingga di akhir ia memungkasnya dengan pertanyaan. "Mungkin ada hal yang ingin kau tanyakan—"

"Apa selama ini kau baik-baik saja, hyung?"

"—mengenai proyek ini…"

Taeyong mengepalkan tangan. Ia tidak mengerti mengapa Ten bertanya sedemikian mudah, terlebih menyangkut masa lalunya, menyangkut luka yang perlahan kembali berdarah. Taeyong  mencoba mengatur detak jantungnya. Ia tidak bisa, tidak bisa. Senyuman formal kembali terulas di mukanya.

"Tentu, aku baik-baik saja. Jadi, bagaimana, kau ada pertanyaan?"

Ia tidak pernah mengira akan melihat wajah itu; Ten menggigit bibir dengan air mata meleleh melintasi pipi.

🌀🌀🌀🌀🌀

Taeyong hyung baik-baik saja.

Ten tidak tahu kenapa ia menangis terisak.

Dia baik-baik saja selama ini. Aku sungguh tolol.

Ia menyalahkan ego yang selama ini menahan perasaannya. Sekarang, perasaan itu sudah tidak berguna. Ten mengusap air mata di kedua pipi. Ia benar-benar malu pada dirinya sendiri. Ia telah melakukan sesuatu yang bodoh dan waktu beserta takdir dengan senang hati menyiksanya. Tapi Taeyong baik-baik saja, pikirnya sedih. Dia tidak sama sepertiku yang selama ini tak mampu menepiskan bayangan mengenai delapan tahun lalu.

Ten ingin pergi sekarang juga. Menemui siapa saja asal jangan Taeyong. Ia tidak tahu bagaimana harus menghadapi lelaki itu dalam keadaan menangis. Taeyong juga pasti tidak mengerti mengapa ia menangis. Ia mengutuk air matanya yang enggan berhenti mengalir.

"Kau baik-baik saja, Ten?"

Ten tak mampu menjawab. Ia hanya menggeleng samar, menepis tangan Taeyong yang hendak menyentuh pipinya, mencoba menghapus air matanya. Tapi lantas Taeyong meraihnya.

"Apa kau senang menyiksaku, Ten."

Ten kembali menggeleng.

"Berhentilah menangis. Jangan buat aku merasa semakin bersalah kepadamu."

Orang-orang di sekitar restoran saling memandang penuh tanya. Taeyong membawanya pergi ke tempat lain. Ten tidak punya pilihan, terlebih ketika tangannya digenggam begitu erat.

🌀🌀🌀🌀🌀

Taeyong tidak mengerti kenapa malam itu Ten mencium bibirnya.

Ten mencium bibirnya, setelah tak henti terisak, setelah penjelasan demi penjelasan mengalir lambat, tentang ego, tentang kesedihan—kehilangan, tentang ciuman di gimnasium delapan tahun lalu. Ten menyukainya dan mengakui perasaan itu pada akhirnya. Taeyong diam saja ketika Ten mendekatkan wajah, menempelkan kedua bibir dalam pagutan lembut, meminta lebih.

"Ten, kau hanya merasa bersalah padaku. Kau tidak benar-benar menyukaiku."

"Apakah ada perasaan bersalah yang berlangsung selama delapan tahun?"

Taeyong mendorong pelan bahu Ten, "Aku tidak tahu."

"Aku merasa bersalah pada diriku sendiri, hyung. Aku merasa bersalah karena enggan mengakui perasaanku waktu itu. Jauh, jauh di dalam lubuk hatiku, aku menyukaimu."

Taeyong tertawa gamang. "Apakah kau sedang mempermainkanku? Jangan katakan kau sudah merencanakan semua ini dari awal pertemuan kita."

Ten terluka dan luka itu terefleksikan begitu nyata di kedua matanya. "Sekejam itukah aku di matamu?"

"Maaf. Ini—" Taeyong mengambil napas. "Ini terlalu mendadak. Aku bahkan nyaris memercayai bahwa semua ini hanya mimpi."

Ten kembali menciumnya. Bibir itu tetap sama; kenyal, manis, magis, candu. "Aku menciummu, hyung. Kau merasakannya."

Taeyong menyerah. Ia memutuskan untuk kembali meraih Ten, memagut bibirnya, meluapkan perasaannya selama delapan tahun ini melalui sentuhan-sentuhan. Ia memandangi Ten—Ten memandanginya. Delapan tahun … rupanya tidak mampu mengubah apa-apa, tidak perasaannya, tidak hatinya. Ia tetaplah Taeyong yang menyukai—mencintai—Ten.

.

Limerence - TaetenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang