Four Seasons

269 39 17
                                    

summer

Ada banyak hal yang sangat disukai Ten di musim panas. Hari-hari yang tak perlu diisi oleh kegiatan belajar di sekolah, ice cream super manis yang meleleh di lidah, kembang api di malam festival, liburan seharian di pantai (—dan sebagainya, dan sebagainya). Bagian terbaiknya, semua itu baru saja di mulai.

Tapi bisa jadi Ten salah kali ini.

Hari-hari panjang yang dihabiskannya di rumah tak semenarik kedengarannya. Ice cream yang dijual di ujung jalan tak semanis harapannya. Kembang api di malam festival, liburan seharian di pantai, semuanya jadi biasa saja. Musim panas tiba-tiba kehilangan pesonanya.

Bagian terburuknya, semua itu baru saja dimulai.

Pertanyaannya: kenapa bisa?

Tak ada yang berubah. Semua hal di sekitarnya masih tampak sama seperti tahun-tahun sebelumnya.

(Semuanya sama, hanya jika dia mengabaikan pertemuannya dengan sosok berambut coklat di sudut perpustakaan yang nyaris kosong, atau di taman belakang yang jarang dilalui orang, atau di gedung utama sekolah, di ruang guru, di kafetaria... Semuanya sama saja hanya apabila Ten mengabaikan sosok itu.)

Masalahnya, bagaimana mungkin Ten bisa mengabaikannya. Dia tidak bisa, terutama karena dia pernah mendengar suara lirih sosok itu menggumamkan sesuatu di balik meja penjaga perpustakaan. Ten tidak akan pernah bisa mengabaikannya, terutama karena dia pernah melihat senyum yang jarang-jarang muncul di bibir pucat itu sekali waktu (—terima kasih untuk buku komedi bersampul abu-abu!).

Dia tidak pernah merasakan urgensi sebesar ini untuk segera mengakhiri liburan dan kembali bersekolah (—lalu menjumpai sosok itu, lagi dan lagi).

Ada banyak hal yang sangat disukai Ten di musim panas. Tapi ada sesuatu yang jauh lebih disukainya, sepanjang waktu.

autumn

Sama seperti angin musim gugur yang tak pernah lelah menerbangkan dedaunan yang perlahan menguning dan mengering, Ten pun tak pernah lelah mengawasi gerak-gerik pemuda yang mengingatkannya pada hangat nya petang hari itu.

Cara pemuda itu mengayunkan kakinya, membalik lembar demi lembar halaman pada buku yang dibacanya, menulis catatan peminjaman buku—apa saja, semua Ten rekam dan simpan baik-baik di dalam kepalanya.

Ten bahkan tanpa sengaja hapal jadwal piket pemuda itu di perpustakaan (—yang selanjutnya menjadi jadwalnya juga).

Bukannya Ten cukup hanya dengan menatapnya diam-diam. Tentu saja tidak. Selalu ada kala dimana dia ingin menghampiri pemuda itu, mengajaknya berbincang tentang buku-buku yang sedang dibacanya, tentang hobinya, tentang kehidupannya, apa saja, sungguh, apa saja.

Tetapi pemuda itu dan kesendiriannya, pemuda itu dan tumpukan buku yang hendak dibacanya, pemuda itu dan jendela perpustakaan sebagai latar belakangnya, terlalu indah sebagai satu kesatuan. Ten tak sanggup merusak keseimbangannya hanya dengan sebuah obrolan.

Setelah dipikir-pikir, Ten bahkan tidak tahu namanya kalau tidak mengintip catatan di balik buku yang telah selesai pemuda itu pinjam.

Lee Taeyong.

(—lalu sebuah senyum yang tak bisa ditahan terkembang dengan lebarnya.)

Sama seperti pepohonan yang tak pernah lelah untuk terus tumbuh meski dedaunannya berguguran satu persatu, Ten pun tak pernah lelah mengawasi gerak-gerik pemuda itu.

Cara pemuda itu mengayunkan tungkai saat berjalan, menumpukan sebelah tangan di dagu saat membaca, membungkukkan badan tiga puluh lima derajat saat memberi salam pada guru—apa saja, semua Ten rekam dan simpan baik-baik di dalam ingatannya.

Limerence - TaetenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang