Rutinitas ini sudah berlangsung selama lebih dari enam bulan; saling menunggu satu sama lain di persimpangan jalan. Atau, setidaknya begitulah yang mampu diingat Taeyong.
Abstrak, bisa dibilang. Tanpa janji, tanpa perlu mengucapkan sepatah kata, ia akan berdiri di samping pertigaan, seorang diri—atau ditemani bulan (yang kadang muncul separuh, atau penuh, atau lenyap sama sekali). Taeyong tetap berdiri teguh, menunggu sosok kecil itu muncul di ujung jalan—sosok yang lantas melemparkan pandang sebelum mengalihkannya, dengan kedua pipi merona samar-samar. Taeyong akan tersenyum, melambaikan tangan, menyambut.
"Kau lebih cepat lima menit, Ten."
Ten tidak memberi respon.
Tanpa kata, keduanya melangkah bersama, bersisian. Sesekali Taeyong berpikir mengenai sensasi itu; kejut yang mendebarkan, tatkala jari-jemari tak sengaja bersentuhan—dalam keadaan tersebut, ia ingin sekali menggenggamnya, memainkannya. Namun, Taeyong menyadari satu hal: bahwa apabila ia memulai semua itu, ia tak akan pernah mampu melepaskannya, tidak bahkan jika hanya genggaman tangan. Ia tidak bisa berhenti.
Taeyong memandang bulan. Oh, rupanya tidak ada. Terhalang awan. Angin dingin berembus lembut, membawa remang-remang pada tengkuk. Barangkali hendak hujan. Taeyong melipat tangan di depan dada, sedikit menggigil.
"Seharusnya kau mengenakan jaket, hyung."
"Aku lupa."
Ten melirik sebentar. Taeyong ikut melirik. Selama sekian detik, mata mereka bertemu. Ada kalimat yang tertahan di kerongkongan, entah kenapa. Ten selalu menjadi orang pertama yang memutus kontak—setelah itu dia akan membetulkan letak kacamata, menghindari kecanggungan. Taeyong bisu, tidak mencoba bertanya. Ah, ya, ia sendiri sebetulnya tidak mengerti apa yang mau ditanyakan; segalanya terlalu abstrak.
"Apa bekerja paruh waktu tidak menganggu kuliahmu?"
Ten menggeleng. "Nilaiku masih sempurna."
Taeyong tersenyum. "Seperti biasa."
Ada janji yang tertulis tanpa kata, mungkin. Ketika musim panas tiga tahun lalu mempertemukan Taeyong dengan Ten— ada benang merah, tipis sekali, yang menciptakan pertemuan-pertemuan lain; pertemuan rahasia. Mula-mula untuk latihan biasa, lalu semakin lama semakin berubah kompleks. Aneh, kalau dipikir-pikir. Mendadak saja Taeyong mengucapkannya, universitas yang ingin ia labuhkan sebagai tujuan tempat pendidikan terakhirnya. Diakhiri tanya; apakah kau bersedia mengikuti jejakku.
Ten tidak pernah menjawab, sama sekali. Sampai suatu ketika lelaki tersebut muncul di hadapannya, di universitas yang sama dengannya. Taeyong hilang kata-kata, tiba-tiba mimpi tentang konversasi di masa lalu kembali bangun, mempertanyakan, membuatnya ingat bahwa, ah, ya, inilah yang diam-diam Taeyong tunggu: kedatangan Ten.
Awalnya ia pikir segalanya berjalan mulus, terlalu mulus. Pertemuan menyenangkan, berbagi cerita, berlatih bersama (kali ini mereka berada di tim basket yang sama). Relasi yang biasa-biasa saja, seperti pada umumnya. Tapi ada sesuatu yang mengganjal pikiran, terlebih ketika Taeyong menyadari bahwa Ten tidak sama dengan teman-temannya yang lain, tidak sama—sama sekali. Ten istimewa.
[Perasaan sementara yang meninggalkan jejak; perasaan sementara yang mengikuti jejak. Perasaan yang tidak bisa lagi dikatakan sementara sebab rupanya sudah berlangsung cukup lama.]
Taeyong tidak mengatakannya. Sial, memang. Pola abstrak terus tercipta, semakin runyam dan tidak jelas. Saling menunggu, saling diam—tapi meresapi, merenungkan. Ten tidak memberi tanda. Demikianlah, lelaki itu tidak pandai berkata-kata, dia nyaris selalu diam dengan kepala menunduk, seakan merasakan kesedihan yang entah dari mana datangnya. Taeyong tidak mencoba menerka, tidak pula berani menerka. Takut salah sangka, salah kira.
"Apakah kau tidak lelah, Ten."
Ten memandang penuh tanya.
"Sepertinya kita harus menghentikan rutinitas bodoh ini."
"Menurutmu begitu, hyung ?''
"Ya."
Ten menunduk lagi, kali ini semakin dalam. "Aku tidak masalah."
Dan rutinitas itu akhirnya berhenti. Taeyong tidak lagi menunggu di pertigaan jalan. Ten juga tidak lagi menunggu di tempat yang sama apabila Taeyong giliran bekerja paruh waktu. Mereka pulang sendiri-sendiri. Taeyong bertanya-tanya, kenapa ia terus memandang ke arah sana—ke tempat Ten biasa menunggunya. Lelaki itu tidak akan datang. Taeyong menghela napas, memandangi langit malam, memandangi kedua sepatunya yang lusuh.
Rasanya ada yang tidak benar—ada yang hilang, entah apa. Taeyong menjilat ludah. Ia kembali menunggu Ten keesokan harinya. Namun lelaki itu tidak pernah muncul, bahkan setelah hampir tengah malam. Tentu, tentu saja, ada jalan memutar yang lebih dekat menuju tempat tinggal Ten, sudah pasti lelaki tersebut mengambil rute ke arah sana. Bodohnya Taeyong. Ia putuskan untuk pulang malam itu. Sendiri. Merenungkan perasaan tak jelas yang tak henti bergejolak di dalam dadanya; perasaan itu memaksanya untuk menjumpai Ten. Inikah rindu, ia bertanya.
Besok aku akan menunggumu di tempat biasa.
Taeyong mengirim pesan. Sudah pukul satu pagi.
Ia harap Ten membalas pesannya.
Tapi tidak.
Tapi Taeyong tetap menunggu. Kali ini sambil mengenakan jaket tebal. Malam terasa lebih dingin setiap harinya, tanda musim sebentar lagi akan berganti. Taeyong mengusap-usap kedua telapak tangan, mencoba menghangatkan diri sendiri walau tidak seberapa. Ten belum muncul. Taeyong melirik jam.
Semestinya lelaki itu sudah muncul sejak setengah jam lalu.
Taeyong berjongkok. Nyaris menyerah. Mungkin saja Ten marah—entah apa alasannya. Taeyong menolehkan kepala, memandang ujung jalan, berharap Ten muncul di sana. Tapi tidak ada. Taeyong benar-benar menyerah. Ia melangkah pergi, pulang, sendiri lagi, sebelum suara derap langkah kaki yang tergesa terdengar oleh telinganya.
Ten berlari. Taeyong berbalik arah. Ada perasaan takjub yang … yang, ah, begitulah. Abstrak. Rasa hampa selama seminggu terakhir ini mendadak lenyap. Taeyong tahu inilah waktunya ia menyadari hal itu—perasaannya, perasaan Ten. Taeyong tidak pernah melihat Ten tersenyum selebar ini (dan ia tidak pernah merasa sebahagia ini).
Keduanya berhadapan, saling memandang, mencari-cari makna dalam kedua bola mata.
"Ten, aku—aku minta maaf, aku tidak bermaksud untuk … kau tahu, menghentikan semua ini. Ah, aku sendiri tidak mengerti apa yang ingin aku katakan."
Ten tertawa. "Terlalu membingungkan, ya, hyung"
"Ya, terlalu membingungkan."
Taeyong menarik napas. "Dengar, Ten, sepertinya aku menyukaimu."
"Tiba-tiba?"
"Ya—maksudku, tidak. Aku hanya baru menyadarinya sekarang ini."
"Kau terlalu lama menyadarinya, hyung."
Taeyong menggaruk tengkuk. Ia merasa canggung. Tanpa banyak bicara, ia menyodorkan tangan, berharap Ten menyambutnya. Tak perlu waktu lama, Ten menyambut uluran tangannya. Keduanya saling menggenggam. Kalimat demi kalimat akhirnya terucap, mengenai alasan-alasan—apa yang membuat Ten tidak datang. Mereka saling menepati. Kata-kata yang selama ini tertahan di kerongkongan mulai diungkapkan perlahan-lahan.
Mereka melanjutkan rutinitas; saling menunggu satu sama lain di persimpangan jalan. Dengan perasaan yang tidak lagi abstrak.
