Time Between Dog And Wolf

295 30 6
                                    

Senja selalu berarti hal yang sama: cahaya redup, bentangan tirai, dan sandiwara di mulut.

Ten melihat anomali -bintang kabur dari galaksi yang jauh, melesat dalam lintasan semu, mendarat tanpa kehati-hatian pada kedua rongga yang mengapit lembah hidung itu; cahayanya yang silau membutakan, hingga Ten tak sadar bahwa ia telah terjatuh begitu dalam. Napas Ten menjalar di dalam ruangan seperti sonar, mendeteksi fitur jenjang yang familiar, nyaris, kalau saja rambut di atas bantal itu coklat dan ujung-ujungnya tidak mencuat liar.

Di perjumpaan pertama ia mengenalkan diri sebagai Lee Taeyong, perjumpaan kedua Taeyong menerima tawaran cocktail-nya dengan sedikit gugup, yang membuat Ten memutuskan perjumpaan ketiga mereka diakhiri dengan ajakan luwes untuk bermalam di tempatnya; planet-planet di atas sana seperti tertawa geli mengetahui betapa mudahnya semua ini terjadi.

Ten melihat bintang lagi, menjuntai di langit senja yang berwarna seperti karat dan dusta, mengawasi lewat bagian kecil jendela yang luput ditutupi bentangan tirainya. Ia menggapainya setengah hati, toh, ia tidak akan pernah mendapatkannya; jadi ia putuskan untuk meloloskan setarikan napas dan tawa samar saja, mengarahkan fokusnya kembali pada Taeyong.

Ini tidak benar, hatinya berkata. Lalu kenapa? Ten tidak butuh sesuatu yang benar. Ia hanya butuh sesuatu yang terasa nyata, yang bisa ia raih dan genggam di kedua tangannya. Yang tidak menghilang dan menjelma jadi bayang-bayang di tengah kegelapan.

(Yang hidup dan ada.)

Ten melihat bintang. Ten memikirkan bulan.

🌀🌀🌀🌀🌀

Aku akan mencintaimu. Selamanya.

Suatu hari Ten bermimpi akan waktu-waktu di masa lalu yang telah berlalu begitu jauh, ketika masih ada nyala bara api di kedua matanya, dan hari-hari esok belum semenakutkan sekarang. Detik-detiknya terpetakan seperti konstelasi, dan dunianya mengorbit pada bulan sebagai pusat revolusi ( ia tidak pernah berhasil menjadi bumi).

Dan Ten tahu (dulu, sekarang) ia terlampau mencintai senja dan coklat dan warna-warna lain yang dibiaskan oleh presensi Jaehyun. Ia akan mengucapkannya dengan mudah beratus-ratus kali, meski Jaehyun dengan gaya skeptisnya akan mengatainya tak waras, kemudian menghilang di balik selimut tebal dengan wajah merah padam.

Karena ia mencintai siang, ketika Ten menghambur di jalan menuju kampus dengan langkah tertatih-tatih (sambil menggerutu terlambat lagi 'gara-gara kebodohanmu, Jaehyunnie').

Karena ia mencintai pagi buta, ketika Ten terbangun dengan terlalu waspada dan bermandikan peluh dan airmata (kemudian Jaehyun akan mengusap punggungnya dan berbisik 'tak apa, tak apa').

Tetapi ia mengutuk malam dan lantai 12 yang merenggut cahaya di mata Jaehyun dengan begitu mudahnya. Ia mengutuk luapan darah yang mengembang dari tubuh Jaehyun seperti kamelia, dan mimpi-mimpi buruk yang meracuni pikiran Jaehyun sampai ia memutuskan untuk melompat saja.

Aku akan mencintaimu. Selamanya -janjinya yang kini terdengar kosong tak mampu menyelamatkan Jaehyun maupun dirinya. Seperti jutaan harap di antara doa-doanya yang tak akan membuat otak dan jantung Jaehyun berfungsi kembali seperti sedia kala.

Janji tidak mengikatmu, Ten hyung katanya, janji melilit lehermu seperti sebuah cekikan.

Kemudian Ten akan terbangun dari mimpi panjangnya dengan napas yang terputus-putus seolah habis dicekik seseorang (sesuatu). Bulan tidak ada di langit malam itu.

Limerence - TaetenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang