Refleksi

198 41 6
                                    

Dua manusia kesepian:

Dua orang laki laki. Orang-orang sering memanggil si laki-laki pertama dengan sebutan Lee Taeyong, entah nama asli entah bukan. Sementara si laki laki kedua bernama Ten, nama keluarga tidak diketahui—atau, si laki laki ini sebetulnya tahu benar nama semacam apa yang ada di belakang namanya, namun memutuskan untuk membuang nama itu karena barangkali dia sudah tidak butuh. Atau tidak sudi.

Korea tahu siapa itu Taeyong, seperti juga Taeyong yang tahu betul seluk-beluk Korea, dari ujung daun sampai ke akar. Siang, malam. Perputaran waktu, perguliran orang-orang. Jalan raya besar di tengah kota, jalan sempit dari satu gang ke gang lain. Toko pernak-pernik, keramaian, kemewahan. Toko senjata, tanah kosong nan sepi, ketiadaan, kehampaan, tempat manusia-manusia mati. Pertumpahan darah tak ada henti di malam hari, kemudian pagi menyingkirkan sisa-sisa kengerian sehingga siang dapat berjalan dengan damai dan tenang, seakan darah tak pernah meleleh pada tembok-tembok bisu, seakan nyawa tak memiliki harga.

Tapi Taeyong tidak peduli soal drama. Terlebih air mata yang membasahi pipi, ditambah ingus yang keluar-masuk hidung. Dan rengekan yang mengganggu telinga. Kalau sudah begitu, pistolnya bakal bicara, meletus, meledak, melesat secepat cahaya, menggali lubang di dada atau tengkorak kepala. Drama usai, kesedihan tidak berarti apa-apa dan air mata hanyalah sebentuk emosi yang tidak dimilikinya. Mampus. Kelar semua. Lantas Taeyong akan meniup ujung moncong pistol kesayangannya, menghirup bau mesiu yang membakar sukma, kemudian berdoa kepada Tuhan yang entah berada di mana, memohon ampun;

Maafkan atas segala dosa, dosa, dosa, dosa, dan dosa. Manusia terlalu menikmati dosa seperti mereka menikmati mentega yang menempeli roti saat waktu sarapan tiba. Seperti aku—seperti mereka yang nyawanya terpaksa aku cabut paksa. Maaf. Semoga aku masih diberkati.

Liontin rosario dikecup lembut, seperti kecupan untuk kekasih.

Tidak ada kekasih, tidak perlu kekasih. Taeyong cuma butuh hidup sepanjang yang ia ingin. Kalau sudah bosan, pistol gagah itu tampaknya tidak keberatan memuntahkan satu pelor untuk kepalanya. Lebih dramatis kalau moncong pistol itu ia lumat sampai tenggorokan, lantas diledakkan. Tapi, sekali lagi, ia tidak menyukai sesuatu yang bersifat drama. Barangkali jika ingin mati, kebetulan sedang berada di tengah jalan ketika burung-burung menghampiri ingin diberi makan, atau ketika ia sedang menelepon seseorang, atau saat membuang hajat, ia bakal meletuskan peluru secara dadakan.

Seperti kelahirannya yang sungguh mendadak dan tidak diinginkan, mungkin ia juga akan mati dengan cara yang sama seperti saat ketika ia lahir; sendiri, tidak diacuhkan dunia. Hidup atau mati, tiada orang peduli.

Ah, agaknya perasaan terkutuk itu sudah meluber memenuhi diri. Ya, ya, perasaan terkutuk bernama kesepian itu. Betapa terkutuk dan tak termaafkan. Taeyong tiba-tiba ingin terjun dari ketinggian. Siapa tahu menyenangkan. Apalagi kalau bisa melihat kepalanya sendiri yang hancur berantakan, melihat sebagai hantu. Tapi kalau sudah jadi hantu, apakah waktu berjalan persis seperti ketika manusia hidup? Atau sebetulnya manusia mati bukan menjadi hantu, tapi menjadi bangkai.

Dalam perjalanan yang meresahkan dan tak tentu arah, Taeyong pada akhirnya bertemu drama—seperti apa yang sering muncul di televisi, dua sejoli,berjumpa, jatuh hati, melakukan hubungan intim, menikah kalau ada uang, hidup bahagia selamanya, selama-lama-lama-lamanya. Tapi laki laki itu tidak tersenyum atau tersipu malu. Ia perkasa, sorot matanya tajam menusuk, padahal mengurusi bunga setiap hari. Namun, seperti juga air mata dan ingus dan rengekan para target pistolnya, yang demikian itu sama sekali tidak berpengaruh apa-apa. Barangkali dalam hal ini, bagi si lelaki ialah bebungaan.

Dan rutinitas Taeyong bertandang ke toko bunga itu tidak memberi efek berarti.

"Jujur saja, kau tidak kelihatan seperti pembunuh bayaran."

Suatu pagi, tatkala Taeyong baru saja selesai melubangi dua kepala, ia mampir ke toko bunga milik si lelaki. Namanya Ten. Diberi tahu nama setelah bertanya dua puluh satu kali dalam kurun waktu kunjungan dua puluh dua hari. Sementara Taeyong sudah memberi tahu namanya sejak pertama kali mereka berjumpa.

"Sebetulnya aku pengangguran."

Ten tengah menyemprotkan air pada bunga-bunga mawar, katanya biar segar. Lelaki itu tak pernah menolehkan kepala kalau sedang berbincang, membiarkan Taeyong seakan mengobrol dengan dirinya sendiri. Tapi kali ini lelaki itu menoleh walau hanya beberapa detik. Mata Taeyong berkilat, dalam hati bergumam; tidak buruk.

"Jadi, sebenarnya kau bukan Taeyong yang itu."

"Aku Taeyong yang itu."

"Taeyong yang itu adalah pembunuh bayaran, bukan pengangguran."

''Hmm."

"Kau Taeyong yang mana?"

Taeyong berpikir. "Dua-duanya adalah aku."

"Bagaimana bisa."

"Aku memang pengangguran. Maka dari itulah, mereka menyuruhku membunuh orang-orang tertentu. Aku punya uang kalau aku membunuh orang. Jadi, sebetulnya Taeyong si pembunuh bayaran itu adalah pengangguran. Dan adalah aku."

Ten tidak mengatakan apa-apa.

"Sekarang kau takut padaku?"

Hening sejenak. "Kalau aku takut, apakah kau akan berhenti datang kemari?"

"Siapa tahu."

Untuk pertama kalinya, Ten membalik badan. Memandang Taeyong. Lurus. Tak ada keraguan. Lalu kalimat pendek meluncur mulus dari bibir Ten, membuat Taeyong mau tidak mau memasang senyum paling tipis, senyum yang sebetulnya ia sendiri sudah lupa bagaimana rasanya, tapi kini ia mengingatnya lagi.

"Nah, berarti aku tidak takut padamu."

"Ibu dan ayahku mati ditembaki waktu aku tujuh tahun. Katanya banyak utang."

"Karena itukah kau membuang nama keluargamu?"

"Ya, karena itu."

"Bagaimana kalau kau memakai nama keluarga baru?"

"Nama keluarga baru?"

"Ya, nama keluarga baru. Lee. Kau dan aku."

"Apakah itu nama keluargamu?"

"Bukan. Aku baru saja mendapatkan nama itu barusan."

"Kau sungguh penuh kejutan, Taeyong."

"Jadi, bagaimana?"

"Apakah ini semacam lamaran pernikahan?"

"Memangnya kau bersedia menikah denganku?"

"Aku tidak mau. Kau pengangguran."

"Tapi aku pembunuh bayaran."

"Apakah pembunuh bayaran kau anggap sebagai kelebihan?"

"Kalau itu artinya aku bukan pengangguran, berarti jawabannya iya."

"Apa yang membuatmu tidak takut padaku?"

Barangkali, Ten juga mulai mengingat bagaimana cara tersenyum. Tidak begitu lebar. Tipis saja, seperti senyum Taeyong. Tapi senyuman tipis itu memiliki arti yang dalam, dalam sekali. Mungkin saja tak pernah terpikirkan atau terbayangkan. Seperti alasan mengapa ia lahir ke muka bumi tanpa sesiapapun peduli, seperti alasan kenapa mendadak saja keluarga lelaki itu ditembaki tanpa peringatan, tanpa pemberitahuan. Tiba-tiba dunia mati. Hati mati.

"Karena kalau aku takut padamu, kau mungkin tidak akan datang lagi."

Kemudian dunia berubah hidup. Hati tidak lagi mati. Dan kehadiran seseorang begitu dibutuhkan untuk melenyapkan rasa sepi.

Limerence - TaetenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang