Taeyong had a gun pointed at his forehead and a dark look in his face.
Ten sontak menjerit nyaring. Setengah berlari ia turuni sisa undakan tangga, berharap Taeyong belum melakukan hal-hal aneh seperti dalam utopianya.
“APA YANG KAU—” Mulut lelaki itu menganga. Ia sadar segalanya terlambat. Matanya pun menyalang tak menyangka.
Taeyong menoleh. Dengan senyum timpang sisa setengah. “Seseorang perlu memberi mereka peringatan, Ten.”
Sesak napas menyerang Ten. Lutunya tiba-tiba melemah. Ia terduduk di lantai ruangan, lantas memunguti potongan-potongan tubuh yang sejam lalu dilihatnya masih utuh. Dari bibirnya meluncur penyesalan tiada terkira. Titik air jatuh serta, seraya didekapnya tangan dan kepala yang telah hilang sambungannya.
“Kau tahu, dia yang paling jahat. Jadi kubunuh dia duluan.” Taeyong menunjuk dengan dagu benda yang dipeluk Ten–bersikeras memasang senjata di kening target lainnya.
“Tidak mungkin. Bagaimana bisa ? Kau keterlaluan!” lelaki itu memaksa diri buka suara, meski serak. Tak ingin berhenti terisak.
Kekehan sakartik dicomot Taeyong dari kotak tertawa. “Oh, tidak ‘kah kau sadari?”
“Apa?” Manik kakao gelap Ten menantang milik sang lawan bicara. “Apa yang harus kusadari, huh? Jaehyun itu pemuda baik-baik yang pernah kujumpai.”
“Tidak, dia sungguh tidak baik, Ten. Percayalah. Dia selalu mencoba merayumu, tahu!”
“Kau bercanda?”
“Dia selalu tersenyum padamu—kapanpun kau ganti pakaiannya, dan, dan,” Tampak berapi-api Taeyong menimpal.
“Dan kau ingin membunuh dia juga? Jungwoo-ku yang rupawan?”
Visi tajam Taeyong kembali jatuh pada target yang telah dikuncinya. Menatap pemilik wajah pias yang kontraditif dengan permukaan halus–Jungwoo–itu dalam diam. Enggan menggeser seinchipun moncong pistol dari dahi si malang.
“Kalau boleh jujur, aku benci dia, Ten. Tiap kutemui dia, selalu saja pakaiannya bagus-bagus dan mahal.”
Ten bangkit berdiri. Hendak merebut yang ada dalam cengkraman tangan Taeyong, sebelum Jungwoo-nya bernasib serupa dengan Jaehyun; berubah wujud, jadi sesuatu yang… menyeramkan.
Sayang, Taeyong adalah pria berkepala batu.
“Kembalikan Jungwoo-ku, Tae!”
“Tak akan pernah, Ten. Dia harus dibunuh. Dihancurkan!”
Ten siaga menutup telinga. Berjaga diri jika kelakuan anarki Taeyong benar-benar berlaku bagi Jungwoo. Ia bahkan mengambil langkah mundur, pasrah. Sampai meringkuh ketakutan di balik meja. Sulit pula baginya melawan lelaki yang pandai bermain senjata.
Namun rupanya, Ten memilih mendengar Taeyong melepas pelatuk. Ada seulas senyum samar-samar timbul menyertai pipinya yang merona.
Tidak.
Tidak ada suara dor menggema. Apa lagi pertumpahan darah merah segar. Yang tersaji di hadapan Ten hanyalah seorang insan bernama Lee Taeyong. Pria kekanakan yang agak gila dan penuh kejutan.
Percaya atau tidak, pistol di tangan Taeyong malah mengeluarkan bunyi-bunyian aneh. Pula permohonannya membuat Ten ingin muntah detik itu juga.
“Baik, akan kulepaskan Jungwoo kali ini. Tapi—” Taeyong melepas pakaian yang melekat pada tubuh Jungwoo serampangan. Lantas memindahkan kemeja biru cerah tersebut ke tangan Ten.
“Biar aku lihat mahakarya dulu sebelum pergi.”
Ah, haruskah Ten berterima kasih?
“Oh, ayolah, ini perintah, Tennie. Lakukan segera, atau aku perlu menggotongmu sampai ruang ganti, huh?”
Karena Taeyong telah mengingatkan bahwa ia sama seperti lelaki lainnya. Perlu beristirahat dari memakai setelan kerja; ala penjahit baju yang merangkap perancang busana.
Dan, mohon maklumi saja mereka. Terkadang tingkah polah mereka memang mirip bocah-bocah kecil yang berimajinasi soal benda-benda mati bisa bicara.
Yeah, Jaehyun dan Jungwoo. Kalian tentu tahu maksudnya, bukan?
A/N : ini semi riddle yaa, jadi, udah tau double J kenapa ?
