Tidak terlihat warna fajar yang mengembang pada pagi Rabu. Sayangnya tertutupi hujan deras yang mengguyur kota sejak malam dan masih belum reda hingga pagi menjelang. Lewat penciumannya, Ten terbangun sebab aroma rokok dengan perasaaan remuk di pinggul dan bagian bawahnya. Sempat mengaduh dan ia langsung terpana dengan punggung lebar sedang menghadap arah jendela menonton riak hujan turun.
Mereka bertemu di bar tempat Ten memungut pundi-pundi kehidupan. Tempat para pecundang berkumpul setelah disisihkan kaum mayoritas. Pria yang bersamanya duduk di salah satu meja, sendirian, sedang mengudak isi ponsel dengan bibir terselip rokok. Ten langsung jatuh cinta dengan nadi yang menyembul di tangannya.
Dengan sedikit kata-kata menggoda dan sentuhan kecil di punggung tangan, Ten berhasil mengajak pria itu mendatangi kamarnya. Sebotol sampanye mereka habiskan sebelum memulai agenda. Tidak tahu kapan mereka menyelesaikan permainan lantaran berapa kali ronde dihabiskan sepanjang malam—oh, nikmatnya mendengar geraman pria ini merasuk ke dalam telinga.
Punggung itu besar dan kokoh. Garis cakar yang ditimbulkan kuku Ten membekas panjang; meradang kemerahan. Ia masih melamun dengan batang rokok yang kian menyusut. Ten menyentuhnya pelan, pria itu menoleh dan tersenyum tulus.
Melihatnya sama sekali belum ada persiapan untuk pergi (atau menaruh beberapa lembar uang), Ten tergerak ingin tahu. Hujan lebat yang menimpa kota menjebaknya bersama dengan seorang penghibur pada Rabu pagi.
"Apa ada seseorang yang menunggumu di rumah?"
Pria itu, Lee Taeyong, terkekeh di sela mengembus asap. "Tidak, tapi memang ada wanita di rumahku."
"Kau sudah beristri."
"Dan dia tidak menunggu kepulanganku."
Taeyong mematikan rokoknya dan beralih berbaring di sebelah Ten. Tangannya membawa Ten mendekat, bersentuhan dengan kulit dadanya yang lengket. Melambung hidungnya ketika mencium aroma tubuh maskulin dipadu sedikit asap rokok. Elusan lembut pada rambutnya membuat Ten memejamkan mata.
"Mungkin, dia juga sedang bersama lelaki atau mungkin perempuan lain," lanjutnya.
Perjodohan keluarga, Ten menangkapnya begitu. Namun keduanya sama sekali tidak memiliki ketertarikan seksual lawan jenis. Taeyong pergi bermain dengan pria lain, istrinya, istrinya, bermain dengan perempuan lain.
Pelupuk mata Ten terbuka, tangannya reflek menyentuh kulit dada yang menjadi bagian kesukaannya. Pria ini mempunyai banyak hal yang ia sukai, mulai ujung kepala hingga ujung kaki (bahkan ketika mereka bersanggama, Ten terkagum-kagum dengan peluh yang menitik di ujung rambut Taeyong).
Kalau mungkin, ia ingin memiliki Taeyong, menjadikan dirinya simpanan yang justru sangat dicintai dan menjadi prioritas utama.
"Aku memang terdengar nakal dengan mengatakan ini, tapi bisakah kita bertemu lagi nanti?"
"Memang itu rencanaku." Tangannya terus mengelus rambut Ten, mengamati helai demi helai. "Boleh kuminta nomormu?"
Dengan senang hati Ten menyerahkan nomornya, tubuhnya, hidupnya, keseluruhan yang ia punya untuk pria yang ia sakiti punggungnya; dan sadar ia jatuh hati sekasual ini.
A/N : what a creepy title hehehe, sorry everyone