Part 27 - Maaf

4.1K 227 7
                                    

Daffa menunggu dengan bosan di mobilnya, terakhir kali alat komunikasi Windy dinyalakan saat Windy menanyakan pemilik hotel pada resepsionis.

Selama aksinya berlangsung, Windy mematikan alat komunikasinya, Daffa tahu kalau Windy pasti malu dirinya mendengar percakapan mereka, meski justru percakapannya terekam oleh perekam yang gadis itu bawa.

Melihat Windy, Daffa jadi teringat akan awal pertemuan mereka, di rumah Ica ketika mereka masih duduk di sekolah menengah pertama.

Daffa akui Windy adalah gadis tercantik seusianya yang pernah ia temui selain Ica, sepupunya. Namun sikap Windy yang berlebihan padanya membuat Daffa ilfeel.

"Daffa, Windy suka sama Daffa, Daffa mau ya jadi pacar Windy!"

Entah sudah berapa kali Daffa menolak namun Windy tidak lelah mengejarnya dan memaksakan perasaannya. Bahkan Ica seringkali menjadi media Windy menitipkan pesan atau hadiah kecil untuknya. Meski hadiah itu ujung-ujungnya diberikan Daffa pada Ica namun Windy tidak juga menyerah.

Hingga akhirnya kesabaran Daffa benar-benar pada batasnya.

"Gue ngga pernah suka sama lo! Ngga sama sekali Windy! Apa lo buta atau lo ngga punya otak buat berpikir seberapa banyak gue udah nolak lo?!"

"Tapi kan gue masih punya kesempatan, Daffa juga lagi ngga punya pacar kan?"

"Lo ngga akan pernah punya kesempatan buat jadi pacar gue! Kalau lo pinter lo pasti bisa mengartikan ucapan gue bahwa sampai kapanpun gue ngga akan pernah suka sama lo!"

"Tapi Daf--"

"Jangan deketin gue lagi! Kalau lo ngga mau gue makin benci sama lo!"

Terlihat jelas di mata Daffa tatapan terluka Windy saat itu namun Daffa tidak peduli. Amarahnya lebih besar dari pada rasa kasihannya.

Namun kini gadis itu tidak lagi mengejarnya. Windy benar-benar mematuhi ucapan Daffa untuk tidak lagi mengejarnya.

Daffa tersadar dari lamunannya saat mendengar suara Windy lewat earpiecenya.

"kamu bisa merasakan kenikmatan yang kuberikan Nona Clarish."

Suara itu membuat Daffa kesal, ia yakin Windy sedang dalam masalah sekarang.

Daffa segera berlari ke dalam hotel dan mencari kamar yang sempat ia dengar lewat earpiece.

Saat menemukan kamar di mana Windy berada, Daffa harus menghabisi lima orang penjaga lebih dahulu. Kemungkinan mereka sudah tahu akan apa yang terjadi di dalam.

Setelah melumpuhkan kelima penjaga selama beberapa menit, Daffa berusaha mendobrak pintu kamar. Hingga dobrakan ketiga barulah pintu terbuka.

Daffa semakin murka saat melihat apa yang terjadi pada Windy.

"BRENGSEK!!"

Daffa berjalan cepat ke arah tempat tidur dan menghajar pria tersebut tanpa ampun. Windy menangis takut melihat Daffa yang mengamuk, lebih mengerikan dari saat Daffa mengusirnya dari hidup laki-laki itu beberapa tahun lalu.

"Da-Daffa." Windy berusaha menghentikan Daffa agar ia tidak sampai membunuh tersangka.
"U-Udah Daf." Tubuh Windy masih belum dapat bergerak.

Daffa menghentikan pukulannya dan Reyga terlihat sudah babak belur tak sadarkan diri. Mata Daffa beralih pada Windy yang terlihat masih terisak dengan kondisi yang membuat hati Daffa terasa sakit.

Pakaian Windy sedikit terangkat hingga memperlihatkan bagian perutnya. Beberapa bercak merah terlihat di leher dan pundak gadis itu. Hati Daffa mencelos, langsung saja Daffa memakaikan jaketnya lalu memeluk erat Windy.

"Maafin gue ya Daffa, gue udah buat repot." Ucap Windy dipelukan Daffa.

Daffa menggeleng sekilas, "gue yang harusnya minta maaf karena telat nolongin lo." Daffa mengeratkan pelukannya saat Windy kembali menangis.

"Daffa lepasin gue, hiks, gue udah kotor sekarang."

Daffa kembali menggeleng, "sekarang gue ngga akan lepasin lo lagi, ngga akan, dan bagi gue lo tetep bersih, lo tetep cewe yang masih bersih."

Setelah menghubungi Thomas untuk menangani sisanya, Daffa membawa Windy meninggalkan Hotel tersebut.

Satu jam berlalu, tubuh Windy sudah dapat digerakan kembali.

"Lo tinggal sama siapa malam ini?" Tanya Daffa setelah menghentikan mobilnya di depan rumah Windy.

"Berdua sama Mbok Num."

"Orang tua lo masih belum pulang?"

Windy kembali menggelengkan kepalanya, "mereka jarang pulang."

Mereka kembali diam.

"Daffa," panggil Windy kembali membuka suara.

"Ya?"

"Maksud lo ngga akan lepasin gue lagi tadi apa ya?" Tanya Windy dengan nada ragu.

"Itu--" Daffa berusaha mencari alasan yang pas.

"Lo ngga mungkin suka sama gue kan?" Windy menundukan wajahnya, sedikit tidak enak bertanya hal seperti itu, namun rasa penasarannya mengalahkan rasa gengsinya.

"Kenapa? Lo ngga suka lagi sama gue?" Tanya Daffa.

Windy menggeleng sekilas, "bukan, lo kan yang bilang sendiri dulu kalau lo ngga akan pernah suka gue dan juga sekarang--" Windy menyentuh leher dan pundaknya, ia merasakan matanya memanas saat teringat apa yang terjadi padanya tadi, "gue ngga pantes lagi sama lo, gue udah--"

Ucapan Windy terpotong saat Daffa memeluknya sangat erat.

"Jangan pernah berpikir begitu, lo selalu pantes."

"Daffa, kalau lo kasian sama gue, jangan gini, gue takut makin suka sama lo."

"Ngga apa, lo ngga apa makin suka sama gue, dan ini bukan karena rasa kasihan gue atau rasa bersalah gue tapi karena keinginan gue."

"Ma-Maksud lo?"

Daffa melepaskan pelukannya lalu menatap dalam mata Windy, "maaf buat masa lalu yang bikin lo terluka, setelah lo menjauh gue merasa ada yang kurang, mungkin gue kena karma ya, dan waktu lo pindah ke sekolah yang sama dengan gue, gue sedikit senang tapi gue berusaha menepis perasaan yang gue sendiri ngga ngerti sampai saat kejadian tadi gue marah saat ada orang lain yang menyentuh lo seenaknya."

Daffa membuka sedikit jaketnya yang dipakai Windy, memperlihatkan tanda merah yang ditinggalkan Reyga pada gadis itu. Perlahan Daffa sedikit memajukan dirinya dan mencium tanda itu.

"Maaf." Bisik Daffa.

"Da-Daffa?"

Wajah Windy memerah melihat apa yang dilakukan Daffa padanya.

"Gue ngga bermaksud buruk, cuma membersihkan apa yang pria brengsek tadi tinggalkan pada lo." Lalu merapikan kembali jaket yang dipakai Windy.

"Dan juga disini." Daffa menyentuhkan sekilas bibirnya pada bibir Windy.

"Sampai waktunya nanti, gue ngga akan biarin orang lain menyentuh lo seperti tadi lagi, sampai lo benar-benar jadi milik gue sepenuhnya."

Hati Windy menghangat mendengar ucapan Daffa. Windy mengangguk dengan air mata yang masih mengalir dipipinya.

"Lo istirahat gih." Ucap Daffa setelah menyeka air mata Windy.

"Hati-hati dijalan ya." Ingat Windy sebelum turun dari mobil Daffa.

Daffa mengangguk dan tersenyum kecil, lalu menjalankan mobilnya setelah Windy masuk ke dalam rumah.

Wajah Daffa memanas, mengingat apa yang dilakukannya tadi namun hatinya merasa bahagia dan lega.

Begitupula Windy, ia merasa mimpinya jadi kenyataan, di mana Daffa mengizinkannya untuk tetap berada disampingnya. Daffa berhasil membuat Windy melupakan kejadian tadi. Pikiran Windy benar-benar dipenuhi oleh sosok Daffa Widiyanto.

***

Tbc.

My Dearest EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang