Part 109 - Obat Penawar

2.8K 175 11
                                    

Hampir setengah jam Ken dan Ico mondar mandir di depan kamar rawat Ica. Setengah jam lalu Carter baru saja tiba di markas dan segera mendatangi Ica. Kini Carter ada di dalam berdua saja dengan Ica dan belum ada kabar sama sekali.

"Bisa ngga kalian jangan kayak setrikaan ngga laku?" Ucap Windy datar sambil duduk di atas kursi rodanya.

Akhirnya Ken memilih duduk, Ico pun demikian duduk di samping Ken. Namun keduanya masih belum tenang.

"Heh!" Bentak Windy, merasa risih dengan gerak gerik Ico dan Ken, "belom pernah ditampol cewek cakep ya?"

"Udah!" Jawab keduanya bersamaan membuat Windy semakin sebal.

"Dasar bikes! Bikin kesel!"

Daffa menahan diri untuk tidak terkekeh, takut kena omelan pacarnya juga.

Beberapa menit kemudian, Carter keluar dari ruangan. Ico dan Ken lebih dulu menghampiri Carter.

"Tenang aja, racun yang masuk ke tubuh Ica berhasil aku hilangkan." Semuanya bernafas lega, "tinggal menunggu waktu Ica sadar, kalian bersabar saja ya."

"Jadi kami udah boleh masuk?" Tanya Windy.

"Tentu. Tapi Windy, setengah jam lagi aku tunggu di kamarmu ya, aku mau cek lukamu. Kemarin kata Emma sudah mulai membaik jadi mau aku lihat hari ini."

Windy mengangguk dan tersenyum, kemudian Daffa mendorong kursi roda Windy mengikuti Ken dan Ico yang sudah lebih dulu masuk.

Ken tersenyum lega, wajah Ica mulai terlihat tidak terlalu pucat lagi. Selang oksigen sudah di lepas, memar di wajah Ica juga sudah hilang.

"Seharian ngga denger suara master rasanya lama banget ya." Windy tersenyum menatap wajah damai Ica seperti sedang tertidur.

Ken mengangguk setuju.

"Itu karena kita udah terbiasa akan kehadiran satu sama lain." Ucap Daffa.

"Jadi jika salah satu dari kita ngga ada, rasanya sama seperti sekarang. Ada yang kurang." Timpal Ico.

"Kondisi kesehatan Ica gimana Co?" Tanya Daffi.

"Selain obat itu, semuanya baik. Luka di kepalanya juga tidak parah." Jelas Ico.

Ken menatap Ico, "Memangnya kapan lo tanya soal kondisi Ica?"

"Kemarin Emma yang bilang sama gue, waktu Carter ke London, Emma yang memegang catatan medis Windy dan Ica sampai Carter balik lagi." Sahut Ico.

"Makanya jangan galau aja lo." Sindir Daffa.

"Gimana ngga galau kalau pacar gue kritis gini kemarin."

"Itu tandanya Ken khawatir sama master, emangnya lo ngga khawatir ya sama gue Fa?" Windy memicingkan matanya menatap Daffa, "padahal gue hampir mati kemarin." Lalu memasang wajah sedih sambil mengelus dadanya.

Daffa menatap datar Windy yang mulai kumat lebaynya, "nih otak jangan langsung mikir aneh," Daffa mengacak rambut di puncak kepala Windy, "kalau gue ngga khawatir, ngga mungkin gue mau begadang nemenin lo yang lagi kesakitan semalam."

Windy terkekeh pelan, meraih pergelangan tangan Daffa lalu memeluknya, "iya maaf maaf, gue cuma bercanda tau."

"Heh, kalo mau pamer kemesraan di kamar sebelah aja sana!" usir Ken.

"Lo kayak gitu karena Master belom bangun, coba kalo udah bangun," Windy berdecak, "serasa dunia milik berdua, yang lain cuma ngontrak!"

Tepat setelah Windy bicara, Ica memberikan tanda kalau dirinya akan sadar.

My Dearest EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang