S2 - Part 25

6.2K 1K 101
                                    

"Kapan kamu bangun? Anak-anak kita memerlukan ibunya." Penampilan Hongli sudah tampak kacau.

Dirinya terus berada disamping Baihee dan sesekali bergerak pindah untuk memberikan susu bagi kedua putra putrinya.

Banyak orang menyanjung paras anak mereka namun Hongli bergeming karena masih dalam kondisi hati yang kacau.

Hati yang semula kosong. Mulai terisi dengan kehadiran Baihee disisinya dan kini ruang itu kosong kembali. Hongli ketakutan.

Hongli merasa begitu bersalah karena tidak bersama sang istri di detik-detik kelahiran.

Mulanya Hongli sudah menetapkan kekosongan jadwal di bulan ke sepuluh kandungan Baihee yang semua orang ketahui itu. tapi ternyata justru terlahir di kandungan ke Sembilan. Sehingga Hongli dengan penyesalannya tak dapat dielakan.

Menghela nafas kasar. Hongli melangkah menuju kotak kayu jaring yang berisikan kedua bayi tampan dan cantiknya.

"Kalian sudah bangun? Ayah hampir selalu tidak tahu karena kalian tidak menangis." Hongli dengan lembut mengambil bayi perempuannya dan menimangnya.

Pertama kali menggendong bayi merahnya, Hongli takut akan melukai tubuh kecil itu. namun ternyata secara naluriah, Hongli mampu membuat bayi-bayinya nyaman. "Jujur ayah masih bingung karena kalian sangat mirip ayah. Tapi ayah senang. Sepertinya Dewa begitu mengasihi ibu mu agar tak kerepotan memberikan penjelasan..."

"... ayah mungkin bukan ayah kandung kalian. Tapi ayah bersumpah akan menjaga, melindungi, dan melimpahkan kasih sayang yang tulus dan adil pada kalian dan adik-adik kalian nanti. Kalian tetaplah anak-anak ayah yang ayah tunggu kelahirannya..."

"... baiklah, mari putri ayah tidur disisi ibu. mungkin dengan kehadiran putra putrinya, ibu akan segera bangun." Dengan perlahan Hongli meletakkan bayi perempuannya di ranjang besar Baihee, tepat disisi Baihee yang masih memejamkan matanya.

Setelah memastikan bayi perempuannya berada di tengah ranjang. Hongli kembali ke kotak bayi dan mengambil putra tampannya.

"Putra ayah yang tampan. Kamu adalah rupa ibumu dalam bentuk laki-laki dan sangat tampan." Hongli mengecup kecil kening putranya dan bergegas menuju ranjang kembali. Meletakkan bayi laki-lakinya di samping kembarannya.

"Lihatlah anak-anak kita, sayang. Mereka sangat mirip aku dan dirimu. Entah bagaimana ini bisa terjadi tapi aku mensyukurinya. Kamu tahu tidak? Kemarin, Kaisar dan Permaisuri Wigon bahkan mengatakan, putri kecil kita ini sangat mirip denganku. Bahkan manik matanya berwarna merah sepertiku. Dan putra kita sangat mirip denganmu, bahkan manik matanya pun berwarna biru. Mereka sangat sempurna. Terimakasih karena kamu sudah berjuang keras melahirkan mereka, sayang."

Air mata menetes dari sudut mata Hongli yang terus berbicara sendirian. "Sudah satu bulan. Apakah kamu tidak ingin bangun? Aku bahkan menurunkan paksa tahta Pangeran Mahkotaku. Karena gelar ini membuatku harus terpisah denganmu dan bahkan tak bersamamu melewati masa sulit..."

"... Ayahanda Kaisar sempat marah namun akhirnya menerima keputusanku. Adikku akhirnya mengambil alih jabatan dan minggu depan adalah pelantikan resminya. Aku sangat tidak bertanggung jawab, ya? Tapi apa dayaku? Aku tidak bisa meninggalkanmu sendiri disini bersama anak-anak kita, ketika masih ada tanggung jawab yang harus ku selesaikan. Jadi, aku sama sekali tak menyesal melepaskan itu semua. Dari semula, tahta itu bukanlah tujuanku. Semoga kamu tidak marah ketika bangun nanti." Hongli menepis kasar matanya.

"Aku sudah menyiapkan nama untuk anak-anak kita. Tapi aku menunggumu terbangun lebih dahulu. Aku takut kamu tidak menyukai nama yang ku pilihkan. Jadi, ayo cepatlah bangun. Kasihanilah putra putri kita yang sudah berusia satu bulan tapi masih belum mendapatkan namanya."

Hongli terus berceloteh sembari menatap istri dan anak-anaknya.

Mengerti kesedihan Hongli. Bayi laki-laki yang memang paling dekat dengan Hongli, langsung menepuk kecil seolah meminta ayahnya memperhatikannya. Dan itu berhasil.

Dengan senyum lembut, Hongli mengusap kepala putranya. "Ada apa pangerannya ayah? Mau apa?"

Karena belum bisa berbicara, sang putra hanya tersenyum seperti bayi pada umumnya, yang gembira ketika orangtuanya mengajak berbicara.

"Mmmpphh mmm." Bayi perempuannya pun kini ikut berceloteh yang entah apa. Intinya kehadiran dua buah hatinya, mampu mengobati luka hatinya.

Hongli merendahkan tubuhnya dan mengecup kedua kening anak-anaknya. "Kalian sangat menggemaskan. Ibu pasti bahagia ketika melihat pangeran dan putri kecilnya sangat lucu seperti kalian."

Kepala Hongli berdenyut nyeri. Sudah sebulan sejak Baihee melahirkan. Sebulan pula dirinya kurang tidur karena fokus menjaga istri dan kedua buah hatinya.

Hongli menolak semua bantuan pelayan karena ingin menikmati perannya sebagai seorang ayah dan suami yang baik. Setelah cukup lama meninggalkan mereka sebelumnya.

Hongli berjanji, setelah ini, dirinya tak akan lagi meninggalkan mereka. Katakanlah dirinya egois. Namun Hongli lebih ingin memprioritaskan keluarga kecilnya daripada urusan Kekaisaran.

Toh sejak semula, Hongli bahkan dianggap pangeran buangan. Hanya karena dirinya membuktikan bahwa dirinya kuat. Semua orang baru mulai mendekat dan mayoritas menjilat. Jadi, untuk apa Hongli mengorbankan keluarga kecilnya demi mereka?

Jika bukan karena bujukan Baihee yang masuk akal. Hongli benar-benar tidak sudi mengambil alih posisi Pangeran Mahkota.

Sekarang Baihee telah melahirkan dan segala jalur transportasi dan keamanan untuk pulaunya, telah Hongli kendalikan. Semua sudah selesai.

Hongli juga berkunjung untuk melihat kondisi pulau yang dibangun sang istri meski hanya sebentar. Dan Hongli cukup bangga dengan rancangan Baihee yang tampak indah ini.

Hongli bahkan yakin bahwa suatu saat, bila pulau ini diresmikan menjadi sebuah wilayah kekuasaan. Pastilah wilayah ini akan mendapat prediket wilayah terindah. Dan itu semua berkat Baihee. Betapa beruntungnya Hongli memiliki Baihee yang begitu sempurna.

Hongli tahu semua usaha yang dibangun oleh Baihee karena Hongli turut membantu secara tidak langsung.

Baihee juga selalu menceritakan segala prosesnya. Tak ada yang ditutupi.

Dari mulai usaha emas, pembuatan hanfu, produk perempuan, semua, semua telah Hongli ketahui dan bahkan Hongli cermati sedari awal tanpa terlewat.

Oleh sebab itu, ketika Baihee tak kunjung sadarkan diri selama sebulan. Hongli selalu mencuri waktu untuk membahas segala kelancaran usaha Baihee pada Xiao Yi dan ketiga ksatria pilihannya untuk Baihee.

Dan jujur saja, sesungguhnya Hongli ingin membawa Baihee kembali ke kediaman mereka. Namun, Hongli sadar bahwa kondisi Baihee masih memerlukan bantuan penyembuh hebat yang berada di Wigon ini. Siapa lagi bila bukan Permaisuri.

Hongli juga tahu perihal kasus sang ibunda mertua, yang tak lain ibu kandung Baihee. Chen telah memberi tahunya.

Jujur, Hongli murka dan rasanya ingin langsung menyerahkan bukti itu pada ayah mertuanya. Tapi Hongli tidak ingin melangkahi Baihee. Disini, Baihee lah yang tersakiti paling pedih. Jadi, Baihee lah yang berhak membalasnya.

Hongli hanya membantu dengan mencari segala kebusukan lainnya yang dilakukan oleh Ratu Iger itu, melalui para ksatria kepercayaannya.

Andai saja Baihee meminta tolong pada Hongli. Hongli pasti akan dapat dengan mudah mencari bukti. Tapi kadang Hongli sendiri bingung dengan sang istri yang terlalu mandiri. Daripada menggunakan jalur mudah, meminta tolong padanya. Baihee lebih menyukai dirinya yang terjun langsung, mengurusnya.

Ada suatu kebanggaan memiliki istri seperti Baihee, tapi ada keresahan pula dimana sang istri yang tidak membutuhkannya.



To Be Continued

Journey of HerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang