SATU

550 17 0
                                    

Aku menggigil kedinginan, dibawah guyuran hujan deras dan pekatnya malam. Terduduk di sisi jembatan, di pinggir jalan. Terasa sangat lelah kaki ini melangkah. Tak ku hiraukan tatapan aneh orang yang berlalu-lalang, memandangku seolah aku seorang pengganggu. Cih, masa bodoh dengan mereka, toh mereka semua tidak bisa membantuku. Mereka tak mengenalku tapi seolah sangat tahu perasaanku. Mereka tak tahu yang telah ku lalui, tapi seakan berhak untuk mencaci maki.

Mataku terpejam dan mendongak ke atas, menantang derasnya air hujan yang turun ke wajahku. Sakit, saat butiran air turun ke wajahku tanpa terkendali. Perih, semakin lama ku rasakan saat tetes-tetes itu menyentuh wajahku tanpa jeda. Biarlah seperti ini, aku ingin air hujan ini menyamarkan air mataku yang tak kunjung berhenti sedari tadi. Entahlah, sudah ku coba ratusan kali, tapi air mata ini masih setia menemani.

Aku merasa mataku sudah bengkak, tenagaku sudah merangkak di level terendah. Kutatap seragam sekolahku yang membungkus tubuhku. Putih abu-abu, yang sudah penuh dengan segala macam warna-warni tanda tangan teman-temanku dan banyak pesan pendek yang lucu. Tadinya ini menghiburku tapi nyatanya sekarang malah menyiksaku. Ingin ku robek seragam ini segera, namun akal sehatku masih bekerja. Hah! Sepertinya ini semua kado terindah kelulusanku.

Ku benamkan wajahku di lutut. Berharap mendapat kekuatan saat bangun nanti. Ku coba memejamkan mata sejenak, merasa bahwa tubuh ini mulai protes meminta haknya untuk beristirahat. Ah sungguh sial! Baru sekejap memejamkan mata, kilatan kejadian siang tadi langsung terpampang sangat jelas di hadapanku.

Berteriak sekencangnya, menangis sekuat tenaga, ya mungkin itu yang bisa segera menghapus ingatanku tentang semua kejadian tadi. Aku sungguh berharap semua cara itu berhasil. Aku sungguh berharap air mataku yang telah tumpah dan teriakanku yang menggema dapat menghapus sisi otakku yang masih memerintahkan untuk terus mengingat dan mencintainya.

Tiga tahun yang sia-sia. Sungguh sangat sia-sia. Menghabiskan waktu bersamanya, berakhir hanya untuk dijadikan pelampiasan saja. Tiga tahun mengukir kenangan, sekarang hanya tinggal umpatan. Tiga tahun menjaga hati, sekarang hanya ingin mencaci maki. Haruskah aku menyimpan kenangan bahagia bersamanya, demi tiga tahun kebersamaan kami? Demi masa-masa kami saling berbagi? Demi masa-masa kami belajar saling mengerti dan memahami? Demi masa-masa kami melewati setiap penggoda yang hadir silih berganti? Demi masa-masa kami yang saat itu hanya mengenal cinta?

Ah, mungkin dia tidak memiliki hati. Mungkin perasaan yang dia punya tidak sedalam perasaanku. Mungkin tiga tahun yang kami lewati tidak menimbulkan bekas sama sekali. Mungkin memang hanya aku yang selama ini menjaga hati. Mungkin, mungkin dan mungkin. Malam ini aku sungguh memikirkan ribuan kemungkinan yang bisa terjadi.

Toh nyatanya, jika tiga tahun ini memiliki arti yang istimewa untuknya, mungkin malam ini aku tidak duduk sendirian di bawah guyuran hujan. Mungkin dari tadi dia sudah mencegahku pergi berlari. Mungkin tadi dia hanya akan melihatku, tidak tergoda melihat yang lain, meski yang lain menyuguhkan hidangan yang lebih manis dariku.

Entahlah, aku sungguh tidak bisa berpikir jernih, aku tidak bisa memikirkan alasan logis kenapa dia semudah itu melepaskanku setelah semua yang kami alami tiga tahun ini. Salahkah aku yang hanya berusaha menjaga hatiku dan diri sendiri?

Tiba-tiba aku merasa hujan tidak lagi membasahi tubuhku. Ah sudah reda ternyata. Ku angkat kepalaku sedikit, melirik ke arah kiri tubuhku. Hah, kenapa sisi itu masih sangat lebat hujannya. Aku kebingungan, dan mulai berpikir mengalami halusinasi. Mungkin kehujanan dan menangis dari siang tadi membuat pandanganku buram. Ya pasti seperti itu. Aku meyakinkan diri.

Aku membenamkan kembali kepalaku di lutut, tangisku semakin menjadi. Sepi, sendiri dan tak ada yang menemani. Fix, aku benar-benar terbuang.

"Mau sampai kapan kamu nangis di situ?"

Suara lelaki asing menyapaku. Aku berusaha membuka bank ingatanku, memilah suara siapa yang ada di hadapanku. Aku tak menemukan jawaban. Aku tak mengenalnya. Perasaanku mengatakan aku harus segera menghindar. Menjauhi orang asing. Pikiran buruk langsung menguasai tubuhku dan otakku sudah berpikir seribu satu cara menyelamatkan diri.

Seketika aku langsung bangun, tanpa melihat siapa yang berdiri di hadapanku. Yang ku tahu, secepatnya aku harus segera pergi, berlari menyelamatkan diri dari siapapun yang ada di depanku.

Entah karena  terlalu lama duduk, atau terlalu lama kehujanan, atau mungkin terlalu lama menangis, tiba-tiba tubuhku terasa ringan saat aku berdiri dan berusaha untuk lari menjauh.

"Awas, hati-hati!"

Buuuggghh..

Itu kata-kata terakhir yang aku dengar, sesaat sebelum pandanganku menjadi gelap.

--------------------------------------------------------

Hai semua.. Ini karya terbaruku..

Aku.. Ya aku..

Aku akan menceritakan dari sudut pandang "aku". Tentang siapa "aku", ah lebih baik dirahasiakan saja.. 😁

Selamat menikmati cerita receh ini..

Happy reading..

Jangan lupa kritik dan sarannya ya.. Butuh banget masukan dari kalian semua.. Like n vote juga ya 💕💕

BERITAHU MEREKA!!! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang